“Kak, gue nggak enak kalau lo traktir gue mulu.”
Jadi saat aku tertidur di mobilnya, Galih berinisiatif membeli makan malam untuk kami berdua. Tanpa menanyakannya terlebih dulu padaku. Aku tahunya pas di lift dan Galih mengajakku makan di apartemennya.
“Jadi, lo nggak mau?” tanyanya sambil terus melangkah menuju pantry, sedangkan aku mengekor di belakangnya.
Aku diam. Bagaimana bisa aku menolak kepiting yang dia beli? Makanan kesukaanku. Galih ini sudah tahu kelemahanku dan aku tidak mungkin menolak, makanya yang dia beli itu kepiting.
“Yakin?” tanya Galih lagi saat mengambil piring di lemari gantung.
“Mau. Ini yang terakhir,” jawabku pelan.
Galih tersenyum. “Nggak ada kata terakhir. Gue mampu kok, Cha, sering-sering traktir lo.”
Aku atau orang lain pun tahu Galih mampu, tapi bukan itu masalahnya. Setiap dia mengeluarkan uang untukku, rasa utang budiku padanya makin menumpuk dan aku tidak suka itu. Aku merasa jadi punya kewajiban membalasnya suatu saat nanti.
“Lain kali gue traktir lo,” kataku sebagai solusi, karena memintanya berhenti agaknya tidak akan berhasil.
Gerakan tangan Galih yang sedang memindahkan kepiting ke piring berhenti, dia menoleh, menatapku beberapa detik, lalu tersenyum. “Oke.”
“Ngomong-ngomong, lo sering beli makan? Kenapa nggak masak aja, Kak?”
“Nggak sempat. Waktu gue habis di dapur kalau masak, sementara sepulang kerja gue udah capek. Mending waktunya gue pake istirahat,” jawab Galih sambil menggulung kemejanya dan mencuci tangan di wastafel.
Mataku terpaku pada lengan Galih. Setiap tangannya bergerak, urat-uratnya timbul tenggelam di sana. Memberi kesan seksi. Jujur, aku memang suka mengamati lengan laki-laki. Apalagi jika lengannya lumayan berotot lengkap dengan urat-urat yang menonjol.
Aku menggeleng, mengembalikan kewarasanku. “Ya udah, gue nggak usah traktir. Tapi masakin buat lo. Mau nggak?”
Galih mengeringkan tangannya lalu berbalik ke arahku, namun dia cuman diam. Dengan mimik sedikit terkejut, mungkin.
“Sekalian balas budi karena lo udah banyak bantuin gue,” tambahku.
“Besok malam bisa?” tanya Galih.
Aku mengingat-ingat terlebih dulu, siapa tahu aku punya janji dengan seseorang. Tapi tidak ada jadi aku menjawab, “Bisa.”
“Lo ada bahan apa di kulkas?” Aku membuka kulkasnya dan terdiam di sana. “Oh, kosong.”
“Mau masak apa?” Galih tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku. “Besok, sepulang kerja, gue beliin.”
Aku menggeleng. “Gue aja, Kak. Jadi pas lo sampe, bisa langsung makan,” usulku. Atau kalau tidak sempat, bahan-bahan dari kulkasku yang kubawa ke sini. Emm, ide bagus. “Oke, waktunya makan.”
Makanan enak tidak boleh dianggurin lama-lama.
**
“Kak, gue balik, ya? Udah malem banget.”
Jangan pikir aku langsung pamit setelah makananku habis. Aku juga tahu caranya berterima kasih. Jadi setelah makan, aku menawarkan diri mencuci piring meskipun Galih berkeras menolaknya.
Katanya, aku tamu yang diajak oleh pemilik rumah, tidak sepantasnya ikut bersih-bersih. Untungnya aku menang, berakhir dengan Galih yang pasrah. Setelah itu, kami masih sempat ngobrol lama sebelum aku sadar sudah hampir tengah malam.
“Ingat janjinya.”
“Iya, iya.” Aku berbalik, menghentikan Galih mengikutiku. “Nggak usah anterin gue, Kak.”
Sebelum keluar dari apartemennya, aku menyempatkan diri berterima kasih sekali lagi padanya dan keluar dari sana. Namun baru selangkah, tubuhku otomatis berhenti. Di depan unit apartemenku, ada Tama yang sepertinya sedang menungguku.
Dengan sangat terpaksa, aku kembali masuk ke apartemen Galih dan menutup pintunya. Aku tidak punya pilihan lain.
“Kenapa, Cha?” tanya Galih.
Aku berbalik dan ternyata dia tepat berada di belakangku. “Ta-Tama, dia ada di depan apartemen gue,” jawabku terbata, saking kagetnya.
Aku cuman tidak menyangka dia nekat menungguku di depan unitku. Tapi kenapa dia bisa masuk? Tidak mungkin kan dia masih menyimpan duplikat kartu akses yang kuberikan padanya saat kami masih berhubungan?
Tiba-tiba tangan Galih terulur, bermaksud membuka pintu namun buru-buru kutahan. “Jangan disamperin, Kak!” Urusan bisa panjang kalau Galih turun tangan. Apalagi aku tidak tahu mereka ini masih berteman atau tidak.
“Lo mau nginap di sini?”
Mataku terbelalak. “Bukan gitu!” Kayaknya Galih salah paham. “Gue cuman mau numpang di sini sampe Tama pergi. Boleh, kan?”
Aku yakin, Tama tidak sebodoh itu menungguku hingga dini hari. Jadi aku cukup menunggu sebentar di apartemen Galih dan pulang setelah Tama pergi.
“Boleh, gue nggak masalah.” Galih mengizinkan. Sekali lagi, aku merepotkannya. Utangku jadi makin menumpuk.
Sayang seribu sayang, keyakinanku dua jam lalu tidak terjadi. Saat Galih mengeceknya, Tama masih ada di sana. Mungkin saja, dia bahkan berniat sekalian tidur di depan unitku.
Aku menguap, entah ke berapa kalinya. Mataku sudah berat dan rasanya tidak bisa menunggu lagi.
“Nginap aja, Cha. Lo bisa tidur di kamar gue,” usul Galih, mungkin karena melihatku hampir terlelap di kursinya dengan posisi duduk.
Sepertinya, aku terlalu mengantuk sampai tidak protes atau terkejut dengan usul Galih. “Lo di mana?”
Galih menepuk sofa yang dudukinya. “Nih, ada sofa.”
Tanpa pikir panjang, aku akhirnya mengangguk menerima tawarannya. Setelah itu, Galih meminjamkan kausnya dan memberiku izin menggunakan kamar mandinya. Malam ini, aku absen mandi karena sudah dini hari. Jadi aku hanya membasuh muka dan beberapa bagian yang perlu.
Baju kotorku kumasukkan ke dalam mesin cuci lalu mengenakan kaos yang dipinjamkan Galih. Untungnya, kaos Galih benar-benar oversize hingga menenggelamkan tubuhku. Jadi meski tidak mengenakan pakaian dalam, dadaku tidak tercetak jelas.
Panjang lengannya sampai ke sikuku, sementara panjangnya menutupi setengah pahaku. Mendadak aku tersadar kalau tubuh Galih memang besar dan lebar.
“Baju lo gede banget, Kak,” ujarku saat keluar dari kamar mandi. Sebenarnya hanya basa-basi, karena kupikir Galih sudah tertidur. Ternyata dia masih duduk di kursi lengkap dengan selimut dan bantal.
Galih terdiam sebentar, namun matanya terpaku padaku. “Kayaknya lo yang kecil.”
Aku tertawa hambar. Tiba-tiba aku canggung. “Kalau gitu, gue masuk. Makasih udah pinjemin gue baju.”
“Panggil gue kalau lo butuh apa-apa,” katanya lalu berdiri dan melangkah menuju balkon.
Bukannya dia mau tidur, kenapa malah ke sana? Aku mengendikan bahu, tidak usah dipikirkan, mending aku tidur dan bangun pagi-pagi sebelum tuan rumah yang bangun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Mantanku
RomanceTujuh tahun pacaran, Chaca dan Tama akhirnya putus karena Tama menyukai juniornya di kantor. Namun yang justru lebih mengejutkan Chaca adalah teman baik Tama yang dulu selalu menjauhinya. Setelah putus dari Tama, Galih mulai terang-terangan mendekat...