4. lipstik belepotan

82.1K 4.2K 13
                                    

Semalam, kepalaku agak pusing dan entah apa penyebabnya meski kucari tahu. Karena itu, hari ini aku berangkat ke salon sedikit terlambat dari biasanya. Setelah memasukkan bekal sederhana ke dalam tas, aku bergegas turun.

Sesampainya di bawah, aku baru sadar belum memesan ojol. Aku mendesah lelah kemudian merogoh ponsel di dalam tasku. Di saat tengah mengubek-ubek tas, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di dekatku.

Kacanya turun perlahan. Aku sedikit menunduk untuk melihat orang di dalam sana.

“Chaca!”

Oh? Galih. “Kak.”

“Masuk.”

“Hah?”

“Ayo masuk, Cha. Gue antar.”

Kebetulan sekali, aku belum memesan ojol. Jadi daripada menunggu lagi, mending aku terima ajakannya. Setelah duduk di sampingnya, aku mengintip jam tanganku. Pukul 11. “Lo nggak ke kantor, Kak?” tanyaku. Harusnya jam segini dia berada di kantornya. Kenapa baru berangkat sekarang?

“Habis ketemu klien,” jawab Galih.

Aku manggut-manggut sambil menguncir asal rambutku. Aku hampir salah paham. “Kak, gue boleh sarapan di mobil lo nggak?” Aku meminta izin.

“Sarapan?” Galih mengintip jam di pergelangan tangannya. “Cha, ini hampir jam 11 dan lo baru sarapan? Jam segini orang-orang udah pada mikir mau makan apa siang nanti,” cerocos Galih tanpa mengalihkan fokusnya.

“Gue bangun jam 10, Kak. Makanya baru sempet sarapan.”

“Mau sarapan apa? Siapa tau ada tempat makan deket-deket sini,” kata Galih sambil mengedarkan pandangan ke sisi kiri dan kanan jalan.

“Nggak usah, gue bawa bekal.” Aku mengeluarkan wadah berisi roti bakar dengan selai nanas dan menunjukkannya pada Galih.

Galih menoleh sekilas lalu akhirnya mengangguk.

“Gue makan, ya, Kak.”

“Iya.”

Satu potong roti telah kuhabiskan, tapi perutku belum merasa puas. Untungnya aku membuat tiga potong roti. Saat roti hampir sampai di depan mulutku, aku tidak sengaja melihat Galih melirik ke arahku.

Aku menatap roti di tanganku dan menjauhkannya dari mulutku. “Mau?” Aku menawarkan karena mungkin Galih ingin mencicipinya. Ya, sekalian basa-basi. Kemungkinan besarnya juga mungkin Galih akan menggeleng.

Tapi perkiraanku salah. Galih mengangguk. Akhirnya aku menyodorkan sepotong roti padanya. Sekali lagi Galih melirik dan menggeleng. Maksudnya apa sih? Tadi ngangguk, kok sekarang nolak?

“Nggak bisa, Cha. Gue nyetir,” katanya.

Mataku melotot. “Pake satu tangan.”

“Nggak bisa.”

“Terus gimana?” Aku menghela napas. Harusnya aku tidak perlu menawarkan. “Ya udah, gue suapin,” kataku ikhlas tidak ikhlas.

Galih menggigit roti dalam gigitan besar lalu berseru, “Enak.”

Dengan setia, aku menunggunya menghabiskan roti di dalam mulutnya dan setelah itu aku kembali menyuapi potongan terakhir. Oke, selesai. Roti terakhir itu bagianku. Tidak boleh dibagi-bagi lagi.

“Minum, Cha,” ujar Galih.

“Minum?” Aku menengok ke kursi belakang dan membuka dashboard di depanku. Tidak ada air kemasan atau tumbler seperti yang dia minta. “Di mana, Kak?”

“Gue nggak ada minum. Gue minta punya lo.”

Aku menunjuk diriku sendiri. “Punya gue?” ulangku, memastikan telingaku tidak salah dengar.

Galih mengangguk santai. Aku memutar bola mata dan terpaksa mengeluarkan tumbler dari dalam tasku.

Thanks.” Galih merebut tumbler dari tanganku dan langsung menyedotnya. Ya, tumbler itu pakai sedotan dan Galih dengan entengnya menyentuhkan bibirnya di sana. Sekarang bagaimana caranya aku minum?

Aku bukannya jijik, tapi lebih ke malu karena kami seperti bertukar saliva. Di tengah pikiranku yang ke mana-mana, Galih mengembalikan tumblerku. Aku hanya tersenyum ketika dia mengucap terima kasih sekali lagi dan memasukkannya ke dalam tasku beserta kotak bekalku.

Mendadak aku kenyang dan tidak punya nafsu melanjutkan makanku.

Keadaan di dalam menjadi hening beberapa menit selanjutnya. Aku baru bersuara ketika jarak untuk sampai ke salon kurang lebih tinggal 1km lagi. Galih melirik cukup lama saat aku mengeluarkan conseler dari tas.

“Gue mau makeup dikit,” kataku, sekalian minta izin.

Galih tersenyum. “Nggak usah izin, Cha. Apa pun boleh lo lakuin di mobil gue.”

Aku menurunkan kaca di atasku kemudian menggunakan conseler di beberapa titik wajahku. “Boleh dijual juga?” tanyaku bercanda.

“Boleh. Nanti gue bisa beli lagi.”

Tawaku tersembur mendengar jawaban jemawa dari Galih. “Sombong banget.”

Galih terkekeh.

“Gaji lo dua digit, ya, Kak? Tapi angka pertamanya bukan 1,” tebakku.

Galih diam.

Aku manggut-manggut. Diamnya orang itu berarti iya. “Pantes sombong.”

“Nggak suka cowok sombong, ya?”

“Suka kok, yang penting ada yang beneran disombongin,” jawabku meladeninya. Tapi sebenarnya, aku tidak suka. Jawaban spontan keluar untuk sekedar bercanda.

“Padahal gue nggak sombong sama sekali, lo doang yang sampe dua kali nyebut gue sombong.”

“Bercanda, Kak.” Selesai dengan conseler, kali ini giliran alisku yang perlu dilukis. “Tapi ngomong-ngomong, lo nggak punya pacar?”

“Mau mendaftar?”

“Bukan gitu. Gue nggak enak aja keluar masuk apartemen lo, dianterin kayak gini, sementara lo punya pacar. Gue nggak mau bikin pacar lo salah paham.”

“Gue nggak ada pacar, Cha.”

“Perasaan dari dulu, Tam—” aku mengatup mulutku, hampir saja aku menyebut namanya. “maksudnya mantan gue, selalu cerita lo jarang deket sama cewek. Masa sampe sekarang gitu, Kak? Padahal lo ganteng, mapan, udah cukup umur juga.”

“Makasih pujiannya.”

“Sama-sama.”

“Ada cewek yang gue suka,” kata Galih pelan.

Kukira dia tidak mau menjawabnya. Karena tertarik dengan kelanjutannya, aku menoleh ke samping. “Oya? Terus, terus?”

Galih melirikku sekilas. “Apanya yang terus?”

“Kalian, lo sama cewek itu, gimana? Kalian lagi pedekate atau bagaimana?” desakku.

“Kita hampir sampe, lain kali aja ceritanya.”

Aku meneliti jalan-jalan di sekitarku. “Masih bisa, Kak.”

Galih menggeleng.

Aku mendengus. “Nggak seru.” Dan akhirnya berhenti mendesaknya bercerita. Aku mengeluarkan lipstikku dan memolesnya ke bibir karena sebentar lagi aku sampai.

Celakanya, mobil Galih tersentak kecil ketika berhenti dilampu merah. Membuat lipstikku menggores di luar area garis bibirku. “Aduh! Yaah, belepotan.”

Galih mendekat ke arahku, mengecek apa yang telah terjadi padaku. “Maaf, Cha.” Galih buru-buru menarik tisu dari dashboard dan menghapus lipstikku yang belepotan.

Tanganku terangkat, ingin menghentikan tangannya yang lagi-lagi menyeka sudut bibirku. “Gue aja.”

Namun Galih lebih cepat menggunakan satu tangannya menangkap tanganku dan menahannya di atas pangkuanku. “Diem.”

Deg!

Jarak kami terlalu dekat! Aku sampai takut Galih dengar suara detak jantungku. Gawat. Kenapa aku berdebar karena teman mantanku?

Teman MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang