8. pengakuan

74.2K 3.6K 8
                                    

Pemandangan pertama yang kulihat ketika membuka mata adalah punggung telanjang seorang pria. Dia hanya mengenakan handuk yang menutupi pinggang hingga lututnya dan sedang memilih baju di lemari. Aku mengerjap dua kali, masih sama. Berarti mataku tidak salah.

Atau aku sedang bermimpi? Iya, kan? Tidak mungkin ada pria dalam apartemenku. Tapi kalau ini mimpi, kenapa pria itu terlihat sangat nyata?

Ngomong-ngomong, kalau diperhatikan. Tempat ini tidak seperti kamarku. Aku memejamkan mata agak lama lalu membukanya kembali. Masih sama. Ini bukan mimpi!

Ingatanku terputar ke hari sebelumnya, mencari jawaban mengapa aku tidak berada dia apartemenku. Pertama, Tama menungguku di depan salon … Oh! Tidak, tidak! Dia bahkan menungguku di depan unit ketika aku berada di apartemen Galih.

Itu dia! Aku menginap di apartemen Galih, tidur di kamar, kasurnya, dan punggung telanjang pria di depan sana adalah Galih!

Suaraku terlepas tanpa sadar. Pekikan kecil, namun walaupun kecil, Galih mendengarnya karena sekarang dia memutar tubuhnya ke arahku. Mata kami bertemu. Terpaku beberapa detik dan entah bagaimana—aku juga tidak tahu dan tidak bermaksud—pandanganku turun. Tepatnya menatap tubuh bagian depannya yang telanjang.

Jujur, punggung Galih sudah seksi, tapi ternyata bagian depannya jauh lebih seksi. Bukan roti sobek atau perutnya terbagi jadi enam kotak, namun perutnya rata tanpa lemak berlebih di sana.

Apa yang aku lakukan? Aku mengembalikan pandanganku ke atas, menatap Galih. “Sori, Kak!” Aku menarik selimut menutupi wajahku.

Galih terbahak dan itu membuatku semakin malu. Aku harus keluar dari sini, kalau perlu kembali ke apartemenku. Sebisa mungkin menghindari kontak mata dengan Galih, aku menyikap selimut lalu buru-buru turun dari ranjang.

Naasnya, sebelah kakiku sepertinya terlilit selimut hingga aku jatuh tersungkur di samping ranjang. “Arggh!” Kedua lututku sakit bukan main.

“Chaca!”

Aku meringis, sekaligus menahan agar air mataku tak sampai jatuh. Niat lari, aku malah tertahan di sini. Sekarang Galih menghampiriku, untungnya dia sudah mengenakan celana panjang. Tapi tubuh atasnya masih telanjang.

Galih menyentuh lenganku. “Apanya yang sakit?”

“Lutut,” jawabku lemah.

Tanpa aba-aba, Galih mengangkat tubuhku dengan mudah dan mendudukkanku di bibir ranjang. Galih mendongak, menatapku khawatir. “Tunggu di sini.” Lalu bergegas keluar dari kamar.

Selama menunggunya, aku hanya menatap lututku yang nyut-nyutan. Tidak ada hal lain yang bisa kupikirkan karena rasa sakit ini. Tidak butuh waktu lama, Galih kembali dan berlutut di depanku.

Dia memindahkan beberapa kotak es batu ke handuk kecil lalu membalutnya. Galih menatapku terlebih dulu sebelum mengompres lututku.

“Ah!” Aku meringis.

Galih menatapku panik. “Sakit?”

Aku mengangguk, tidak bisa berpura-pura baik-baik saja.

Tanpa memindahkan kompresan dari lututku, Galih bangkit dan duduk di sebelahku. Setelah itu, dia mengangkat kedua kakiku dan meletakkannya di atas pangkuannya.

Aku tidak protes. Galih hanya berusaha membantuku dan aku tidak punya tenaga melawannya.

“Maaf karena tadi ngetawain lo, Cha,” kata Galih tanpa mengalihkan pandangan dari lututku yang dengan telaten dia kompres bergantian.

“Kenapa lo minta maaf?” tanyaku.

“Karena itu kan lo lari, tapi akhirnya malah jatuh. Berarti itu salah gue.”

“Bukan, ini salahnya selimut nih!” Aku mendelik ke arah selimut yang ada di dekatku. “Kaki gue kesandung dan akhirnya jatuh.”

“Tetep aja, sumbernya dari gue, Cha.” Galih menghela napas. “Masih ada yang sakit?”

Galih menatapku teduh, menungguku menjawab. Kata tidak tertahan di ujung lidahku, tak sanggup terucap. Karena itu, aku hanya bisa menggeleng. Kemungkinan besar tatapannya itu yang membuat lidahku keluh.

Galih masih menatapku meski sudah mendapatkan jawaban. Malahan matanya itu turun perlahan dan berhenti di bibirku. Pandangan Galih kembali ke mataku lalu secara perlahan tubuhnya condong ke arahku.

Mendadak aku lupa sakit di lututku.

Tinggal beberapa senti lagi bibir Galih mendarat di bibirku, untungnya aku segera sadar dan menghindar. Aku memalingkan muka. Jantungku memang berdebar, bahkan sentuhan tangannya pada kakiku pun terasa panas dan menggeletik, tapi ini salah.

“Cha …” Galih kembali berusaha mencari bibirku dengan bibirnya, namun aku menghindar lagi.

“Kayaknya lo kebawa suasana, Kak.” Inilah yang kumaksud salah. Dua manusia berbeda jenis kelamin, berdua di ruangan tertutup, dan mengenakan pakaian yang sama-sama mengundang. Tanpa menggunakan perasaan pun, bukan tidak mungkin nafsu muncul di antara kami.

“Udah lama aku mau lakuin ini, Cha,” bisik Galih.

Alisku terangkat tinggi. Sudah lama? Apa maksudnya? Aku ingin bertanya, tapi lagi-lagi lidahku keluh. Niat Galih menciumku dan pengakuannya barusan terlalu mendadak untukku.

Galih yang notabene teman baik mantan pacarku, mengakui perasaannya. Siapa yang tidak terkejut?

Aku mendorong dada Galih agar menjauh dariku lalu menurunkan kakiku dari pangkuannya. “Makasih udah obatin gue, Kak. Gue balik sekarang,” pamitku tanpa menatap wajahnya.

Karena Galih juga tidak mengucapkan apa-apa, aku bergegas keluar dari kamarnya meski lututku masih lumayan sakit. Aku menahannya dan terus melangkah hingga keluar dari apartemennya.

Aku perlu waktu mencerna semua tentang Galih.

Dan itu, tidak kulakukan hanya sehari dua hari. Selama seminggu, aku berhasil menghindari Galih. Kami tidak pernah berpapasan di apartemen dan dia pun tak pernah datang ke salon, sepertinya sengaja memberiku waktu. Gangguan dari Tama turut hilang. Makanya aku tidak perlu meminta bantuan dari Galih.

Sebenarnya, aku tidak bermaksud terus menghindari. Hanya saja aku bimbang. Galih memang pria baik—sejauh aku mengenalnya—kurasa bukan sesuatu yang sulit untuk membalas perasaannya.

Tapi di sisi lain, aku belum siap memulai komitmen baru. Apalagi itu bersama dengan seseorang yang ada hubungannya dengan mantan pacarku. Padahal aku berharap tidak pernah lagi melihat Tama.

Aku menghela napas, menunggu pintu lift tertutup. Sayangnya, tangan seseorang mendadak muncul, menahan liftnya tertutup rapat. Aku memandangi tangan itu lamat-lamat, aku tidak asing dengan tangan itu.

Saat pintu lift perlahan terbuka, barulah sosok itu terlihat. Dia Galih. Spontan aku mengalihkan pandangan ke sembarang arah, apalagi saat Galih akhirnya masuk dan berdiri di sebelahku.

Hening.

Menit pertama benar-benar kami habiskan dengan saling diam. Untuk sekedar bergerak saja aku sampai berpikir dua kali, takut menarik perhatian Galih. Hanya kelopak mataku yang bergerak sejauh ini.

“Cha, kamu nggak lupa sama janji kamu, kan?” Suara rendah Galih memenuhi lift dan … sedikit membuatku tersentak.

Mataku bergerak gelisah, menahan diri untuk tidak melirik ke arahnya. “Janji?” gumamku.

Janji apa? Keningku mengernyit berusaha mengingat janji apa yang telah kubuat pada Galih. Sampai akhirnya mataku berhenti pada kresek yang ditenteng Galih.

Ah!

Janji itu!

Masak!

Tapi kenapa dia harus menagihnya sekarang?

Teman MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang