Saat mendengar negara Prancis, siapa tokoh pertama yang muncul di benak kalian? Napoleon Bonaparte sang pemimpin militer sekaligus kaisar di masa revolusi Prancis, Marie Antoinette sang ratu terakhir yang berakhir di meja eksekusi, atau Claude Monet—pelukis terkenal yang dianggap sebagai pendiri impresionisme?
Banyak sekali tokoh-tokoh terkemuka yang berasal dari negara tersebut, dan yang akhir-akhir ini menarik perhatian Chiara adalah Antoine de Saint-Exupéry. Seorang penulis ternama yang memiliki banyak karya, salah satunya adalah Le Petit Prince yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1943. Buku itu sudah terjual lebih dari 140 juta salinan dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 300 bahasa, menjadikan Le Petit Prince sebagai buku yang paling banyak diterjemahkan selain Alkitab.
Chiara sudah sejak lama penasaran dengan buku itu. Untuk versi terjemahannya sebenarnya harganya tak begitu mahal, tetapi tetap saja ia baru bisa membelinya setelah bekerja part time sebagai guru les Kafa.
Bukunya tipis, hanya 180 halaman. Chiara berhasil membacanya dalam sehari. Meski Le Petit Prince terkesan seperti buku dongeng anak-anak, tetapi isinya lebih cocok untuk bahan renungan orang dewasa. Katanya, orang dewasa itu tidak pernah mengerti apa-apa. Orang dewasa sangat menjemukan bagi anak-anak.
Dengan semangat Chiara menceritakan isi buku itu kepada Erland dan memberikan satu-dua pendapat atas penilaiannya. Erland menyimak dalam diam sembari memperhatikan wajah gadis itu dan kedua matanya yang berkilau. Sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk satu senyuman kecil yang tak Chiara sadari.
“Kayanya menarik. Aku boleh pinjam?” tanya Erland begitu Chiara selesai bercerita.
“Boleh.” Chiara mengangguk antusias.
“Tapi berati dikembaliinnya nanti pas semester baru. Kamu habis UAS langsung pulang kan?”
“Aku gak pulang.”
“Loh, kenapa?”
“Aku kan nanti Januari harus balik ngajar. Terus sayang juga ongkosnya kalau cuma pulang sebentar. Nanti aja aku pulangnya pas mau lebaran.”
“Kamu di kos sendiri dong?”
“Iya, tapi banyak mbak-mbak kos yang lagi skripsian jadi mereka gak pulang juga.”
“Oh, bagus deh,” gumam Erland. Sedetik kemudian wajahnya tampak semringah. “Tahun baru berati kamu di Semarang kan?”
“Iya.”
“Jangan bikin janji sama siapa-siapa ya, kita tahun baruan bareng.”
“Sama yang lain juga?”
“Berdua aja.”
Chiara mengerjap kaget. Seumur-umur dia tidak pernah menghabiskan tahun baru bersama orang lain. Biasanya dia, kakak dan adiknya akan melihat kembang api bersama dari teras rumah sambil memakan cemilan, terkadang mereka ketiduran dan melewatkan malam tahun baru begitu saja. Jadi, Chiara bingung bagaimana harus merespon.
“Kamu emangnya gak bareng Yunike?” tanya Chiara setelah beberapa saat.
“Dia paling sama temennya.”
“Ahh.”
Sekarang Chiara paham. Erland mungkin tidak mau sendirian. Yunike pergi dengan teman-teman barunya, Samudra dan Sangga kemungkinan pulang, sementara Wizar merayakan tahun baru bersama keluarganya. Kebetulan saja Chiara menganggur jadi dia mengajaknya.
“Boleh. Emangnya mau kemana?”
“Kamu maunya kemana?”
“Lihat kembang api?”
“Oke.” Erland mencatat baik-baik dalam kepalanya.
Obrolannya dengan Erland malam itu terdengar biasa-biasa saja sampai dia menceritakannya pada Rindu keesokan harinya ketika Rindu mengajaknya merayakan tahun baru bersama di rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belamour
General FictionLevel terendah dari rasa insecure adalah merasa tak layak untuk siapa pun, itulah Chiara. Gadis pendiam yang keberadaannya sering diabaikan orang lain. Eksistensinya tak pernah dianggap penting. Ada atau tidak ada dirinya sama saja. Namun, sifatnya...