Biasanya Erland tak peduli segalak apapun para senior memarahi mereka. Ia hanya menganggapnya bagian dari 'tradisi' pendidikan dasar. Namun, kali ini berbeda karena yang menjadi pembahasan adalah sifat kepedulian mereka yang dikritik habis-habisan karena tak seorang pun yang tahu dimana dan bagaimana kabar Yunike.
Mulanya Erland menganggap Yunike sengaja disembunyikan para panitia hanya untuk menakut-nakuti mereka, tetapi jika mengingat bagaimana kondisi Yunike kemarin, bisa saja semalam gadis itu tumbang dan panitia mengevakuasinya tanpa sepengetahuan mereka.
Baik Hasbi, Wizar mau pun Melisa tak ada yang berani membantah sedikit pun setiap perkataan yang dilontarkan panitia. Sebagian karena merasa bersalah, sebagian karena tahu kalau meladeni pun akan percuma.
Setelah akhirnya mereka diberi paket dengan jumlah yang luar biasa banyak—20 paket—sesi dimarah-marahi pun selesai. Sang ketua umum muncul diakhir, memberi beberapa petuah dan menyemangati mereka. Nada bicaranya yang tenang dan berwibawa itu berhasil mencairkan ketegangan yang sejak tadi menghimpit dada mereka.
Kegiatan dilanjutkan dengan solat subuh, dan masak sarapan. Yunike baru muncul ketika kegelapan sudah sirna, terusir oleh cahaya matahari yang muncul malu-malu di sebelah timur.
Serta merta teman-temannya langsung mengerubuni Yunike dan menodongnya dengan berbagai macam pertanyaan, kecuali Erland yang berdiri di belakang sambil memperhatikan wajah Yunike yang sudah tak sepucat kemarin.
“Gak tau jam berapa pokoknya pas P3K sama Korlap keliling tuh gue dibawa ke tenda panitia. Gue juga gak terlalu inget sebenernya, tapi sebelumnya badan gue emang udah menggigil banget. Sempet mikir mau manggil Wizar, tapi gue gak berani teriak.”
Setiap beberapa jam sekali para panitia memang sering keliling untuk mengecek keadaan mereka, kebanyakan tak menyadari karena tidur terlalu pulas. Semalam pun mereka tidak sadar saking lelahnya. Hari kemarin benar-benar terlalu berat untuk mereka.
“Pas kita MI semalem lo denger gak Yun?” tanya Melisa, belum puas dengan penjelasan Yunike.
“Gak. Gue baru dibangunin jam limaan lebih. Tadinya mau langsung ke sini, tapi disuruh minum teh hangat dulu sampai habis.”
“Kondisi lo gimana? Masih sanggup lanjut?” Erland buka suara untuk yang pertama kalinya.
Sambil tersenyum kecil, Yunike mengangguk yakin. “Biasanya gue emang sakit pas hari pertama doang. Sekarang udah gak kerasa apa-apa sih, gue juga ini dikasih obat buat jaga-jaga.” Yunike mengeluarkan sebuah obat berwarna merah muda dari dalam saku jaketnya.
“Yakin kuat?”
Yunike mengangguk lagi.
Saat itu Erland tak berkata apa-apa. Namun, setelah mereka selesai sarapan dan mulai packing untuk melanjutkan perjalanan, dia mengambil beberapa barang Yunike untuk mengurangi beban yang dibawa gadis itu.
“Gue kuat kok serius.” Yunike menolak.
“Yaudah lihat entar aja. Kalau lo beneran kuat tar barang-barang lo gue balikin lagi.” Dengan santai Erland memasukkan barang-barang Yunike ke dalam tasnya sendiri.
“Carrier lo makin berat emang gapapa? Entar lo yang tumbang malah berabe Lan.”
“Penghinaan.” Erland geleng-geleng kepala. “Gini-gini gue sering disuruh emak gue ngangkat galon sama gas,” sambungnya, agak melenceng dari topik pembicaraan.
“Ngangkat galon doang mah gue juga bisa Lan, yang gak bisa tuh masangnya.”
Berkat obrolan itu kekhawatiran Erland mereda sepenuhnya. Kini dia yakin kalau Yunike sudah baik-baik saja. Ia juga kini lebih memperhatikan kondisi teman-temannya yang lain. Jangan sampai kejadian seperti Yunike kembali terulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belamour
Fiction généraleLevel terendah dari rasa insecure adalah merasa tak layak untuk siapa pun, itulah Chiara. Gadis pendiam yang keberadaannya sering diabaikan orang lain. Eksistensinya tak pernah dianggap penting. Ada atau tidak ada dirinya sama saja. Namun, sifatnya...