Ibunya Rindu menyambut Chiara dengan ramah setelah memberi omelan ringan pada putri semata wayangnya. Rumah Rindu cukup besar dan sangat terawat. Dia memiliki kamar sendiri yang luasnya lebih besar dari pada kamar Chiara. Rumah Samudra berada tepat di samping rumahnya, dipisahkan oleh sebuah halaman kecil berisi pot-pot bunga dan stroberi.
Setelah solat magrib, Rindu menggelar tikar di halaman dan menyiapkan alat untuk bakar-bakar. Tak lama kemudian Samudra dan teman-temannya tiba dan langsung bergabung dengan mereka setelah memberi salam pada ayahnya Samudra.
“Aku gak nyangka kamu juga ikut ke sini Chi,” ujar Erland sambil duduk di samping Chiara yang sedang sibuk mengipasi arang.
“Diajakin Rindu.”
“Dari SMA lo yang kuliah di sini berati ada tiga orang ya?” tanya Wizar, bergabung dengan Erland dan Chiara untuk membakar sosis dan kawan-kawannya.
Erland mengangguk, lalu menoleh pada Chiara. “Yunike juga kuliah di sini, kamu tahu?”
“Iya. Kamu sama Yunike keterimanya sama-sama lewat jalur SNMPTN kan?”
Obrolan berlanjut, sedangkan kubu sebelah—Rindu, Samudra dan Sangga—asik main uno. Hawa dingin yang menusuk kulit tak menyurutkan tawa mereka. Beberapa pendaki melintas di jalan menggendong tas-tas besar mereka. Rumah Rindu dan Samudra memang terletak tak jauh dari basecamp pendakian Gunung Sumbing.
“Kamu ikut organisasi apa Chi?” tanya Erland sambil memindahkan bakso-bakso yang sudah selesai dibakar ke atas piring. Dia juga sempat memukul tangan Samudra yang terus mencomot sosis sejak tadi.
“Makannya entar kalau udah kelar dibakar semua!” Erland melotot galak.
“Satu doang,” kilah Samudra.
“Satu doang tapi sepuluh kali ya sama aja.”
“Ora yo! Cuma ngambil tiga!”
Samudra mencoba membela diri, tetapi Erland mengabaikannya dan kembali mengipasi bakso yang sudah diletakkan Chiara di atas panggangan setelah diolesi bumbu terlebih dahulu.
“Aku kayanya gak akan ikut organisasi apa-apa,” kata Chiara saat melihat Erland menoleh dan menuntut jawaban atas pertanyaannya tadi. “Kalau kamu ikut apa Lan?”
“Aku sama Wizar daftar Mapala, kalau Samudra ikut Menwa. Kamu beneran gak mau ikut organisasi apa pun?” tanya Erland lagi.
Chiara bercerita kalau dia tak tertarik bergabung dalam organisasi apa pun, selain itu dia juga memberitahu Erland perihal rencananya mencari kerja part time. Ini adalah kali pertama Chiara menceritakan hal itu pada orang lain. Bahkan Rindu pun belum tahu. Entah karena suasananya yang mendukung atau apa, Chiara tiba-tiba ingin menceritakannya saja.
“Tapi ternyata kebanyakan yang nerima part time tuh minimal semester tiga. Aku belum nemu yang mau nerima maba.”
“Kamu suka anak-anak gak?” tanya Wizar tiba-tiba.
“Iya suka,” jawab Chiara bingung.
“Tetanggaku kebetulan lagi nyari guru les buat anaknya. Sebenarnya anaknya udah sekolah Paud, tapi nakal banget jadi sering gak masuk sekolah. Kalau kamu minat, aku bisa kenalin kamu ke tetanggaku. Sebelumnya juga udah pernah nyari guru les, tapi bulan lalu berhenti gak tau kenapa.”
“Belajar baca tulis ya?”
“Iya.”
Chiara tak mengira dia akan ditawari pekerjaan oleh temannya Erland. Namun, dia juga tak bisa langsung menjawab karena bingung. Chiara yang susah bersosialisasi merasa ragu apa dia bisa mengajar dengan baik atau tidak, terlebih dia tidak mengambil jurusan pendidikan. Dia sama sekali buta soal ngajar-mengajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belamour
General FictionLevel terendah dari rasa insecure adalah merasa tak layak untuk siapa pun, itulah Chiara. Gadis pendiam yang keberadaannya sering diabaikan orang lain. Eksistensinya tak pernah dianggap penting. Ada atau tidak ada dirinya sama saja. Namun, sifatnya...