Wajah kaget Chiara yang bercampur bingung itu terlihat lucu di mata Erland. Gadis itu mengerjap pelan dan tak mengatakan apa-apa selama beberapa saat, sepertinya otaknya sedang bekerja keras memproses semua perkataan Erland barusan.
“Maaf kalau ngagetin,” ujar Erland kembali membuka mulutnya. “Kamu gak harus jawab sekarang kalau kamu belum siap. Aku cuma mau ngasih tau kamu kalau aku suka sama kamu.” Erland tersenyum lalu memalingkan wajah ke depan dimana kembang api masih memenuhi langit malam.
“Kamu ....” Akhirnya Chiara bersuara setelah merasa cukup pulih dari rasa terkejutnya. Erland menoleh, kembali mempertemukan tatap mereka. “Kamu kenapa bisa suka sama aku? Maksudku aku bukan ... aku bukan siapa-siapa. Aku gak cantik, gak pinter, biasa aja. Maaf aku bukannya mau ngeraguin perasaan kamu Lan, tapi ... tapi maaf aku masih ngerasa gak masuk akal. Maksudnya, kamu kan punya banyak temen. Lebih masuk akal kalau kamu suka sama Yunike. Dia cantik, aku nggak, dia juga deket banget sama kamu udah dari lama, Yunike lebih pantas buat kamu.” Chiara menghentikan ucapannya. Pikirannya amat kacau hingga ia sendiri tak tahu apa yang barusan dia ucapkan. Dia juga tak mengerti kenapa nama Yunike sampai keluar dari mulutnya—mungkin karena rasa rendah diri yang dimilikinya, karena dilihat dari segi mana pun Chiara akan selalu menganggap dirinya jauh di bawah Yunike, sama sekali tak selevel dengannya.
“Aku juga gak tau. Awalnya aku cuma penasaran sama sifat pendiam kamu. Beberapa kali aku ngajak kamu ngobrol, tapi kamu kaya gak begitu tertarik sama aku. Pas kita ketemu lagi dan aku tau kita kuliah di kampus yang sama, rasanya aku seneng banget Chi. Dari situ aku sadar kalau ternyata selama ini aku suka sama kamu.”
Ledakan kembang api mulai berkurang. Suasana sekitar sudah agak tenang. Namun, di dalam kedua hati sejoli itu justru jauh dari kata tenang. Yang satu kaget karena mendapat pengakuan tiba-tiba, yang satu lagi kaget karena tak menyangka orang yang disukainya merasa serendah diri itu.
“Stop bilang kamu bukan siapa-siapa Chi. Kamu Chiara Sanifah, perempuan yang udah bikin aku suka sama kamu. Soal Yunike, dia memang cantik, lebih tepatnya semua perempuan kan memang cantik gak mungkin ganteng.” Erland tetaplah Erland yang masih bisa melontarkan candaan di saat-saat seperti ini. “Aku juga deket sama dia seperti yang kamu bilang, tapi yang aku suka itu tetap kamu Chiara. Kamu, bukan orang lain!” Erland menegaskan perasaannya, membuat Chiara lagi-lagi membisu.
“Semoga perasaan aku nggak membebani kamu.”
“Nggak, aku cuma kaget karena baru kali ini ada yg bilang suka sama aku. Aku ... sejujurnya aku gak tau harus gimana.”
“Berati aku masih punya peluang kan?”
“Ya?”
“Kamu bilang kamu gak terbebani sama perasaan aku.”
Chiara hendak menjawab, tetapi sedetik kemudian mengatup kembali mulutnya. Susah payah dia menelan ludahnya sendiri untuk mengurangi rasa gugup yang tiba-tiba menderanya. Situasi saat ini adalah situasi yang baru pertama kali Chiara alami. Dia tidak tahu bagaimana harus berkata mau pun bertindak apa.
“Boleh aku nanya sesuatu?”
“Nanya apa?”
“Kamu kenapa mau diajak malam tahun baruan sama aku?”
“Karena mau lihat kembang api?”
“Cuma itu?”
Chiara mengernyit, tak tahu apa yang Erland harapkan dari jawabannya.
“Kalau ada cowok lain yang ngajak kamu lihat kembang api juga kamu bakal mau gak?”
Chiara tak menduga akan mendapatkan pertanyaan seperti itu. Dia tak pernah memikirkannya, tetapi sekarang kalau dipikir-pikir lagi, sepertinya dia tidak akan mau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belamour
General FictionLevel terendah dari rasa insecure adalah merasa tak layak untuk siapa pun, itulah Chiara. Gadis pendiam yang keberadaannya sering diabaikan orang lain. Eksistensinya tak pernah dianggap penting. Ada atau tidak ada dirinya sama saja. Namun, sifatnya...