VOTEE DULUUU
SELAMAT MEMBACA, SEMOGA SUKA AAMIIN
16. PADANYA, TULUS PALING BIJAKSANA
Kelak, cinta akan menghidupkan. Kelak, akan menertawai juga.
***Perasaan terlalu rumit untuk disebut sederhana, rasa terlalu egois jika dipaksa hilang tanpa persetujuan. Dan, manusia terlalu angkuh untuk menerima apapun yang menyakitinya. Kehidupan memberikan semuanya, harusnya, tapi aturannya, tentu tidak begitu kan?
Aruna menatap keluar jendelanya, pikirannya sedang mengkonotasi kalimat ini, 'luka akan selalu sembuh, diobati, atau tidak' sembari jemarinya bergerak, mengoleskan obat merah pada lututnya dengan kapas. Sesekali meringis, merasakan pedisnya reaksi lukanya atas obat itu.
Dia baru saja jatuh dari motor, kecelakaan kecil kedua, dan untungnya, tidak parah. Kronologinya, jalanan licin sepulang sekolah tadi membuat ban motor Aruna tergelincir.
"Nakal, makanya jatuh," Angkasa yang ada di sebelahnya sejak tadi mengomelinya, terlihat wajah khawatir padanya. Bagaimanapun penjelasan Aruna terkait kronologinya, laki-laki itu tetap tidak percaya. Angkasa amat yakin, kalau adiknya ini tidak berkendara dengan baik.
"Lo besok-besok nggak usah pakai motor," ucap Angkasa, selanjutnya.
Bentuk mencintai versi Angkasa adalah melarang. Setidaknya itu yang selalu ia ungkapkan.
"Jakarta macet, Bang, gue selalu telat kalau pakai mobil," bela Aruna. "Lagian, nggak ada jaminan aman pada apapun yang kita kendarai, semuanya punya potensi masing-masing, manusia cuma butuh konsentrasi, hati-hati dan doa."
Sejak masuk SMA, Aruna sudah berani membawa motor sport yang sama dengan Angkasa. Style perempuan itu sampai di bicarakan oleh teman-teman sekolahnya, ia terkenal karena itu. Bagaimana tidak, perempuan dengan tinggi badan 160 itu berhasil mengendari motor besar yang notabenenya, tidak semua laki-laki juga bisa.
Angkasa meraih kunci motor Aruna, menyimpannya dalam saku, "Nggak ada naik motor, sampai lo sembuh, lo harus naik mobil dulu."
"Lebay banget anjir! gue nggak apa-apa," protes Aruna. Dengan wajah memohon, Aruna merengek, "Kembaliin kunci motor gue."
"Nggak," Angkasa menjauhi Aruna, bersiap-siap ingin keluar dari kamar adiknya itu setelah memastikan bahwa luka di lutut Aruna telah terobati, "Mau makan apa lo, gue keluar beliin, ya?" sebenarnya Angkasa tidak suka punya inisiatif untuk bertanya, karena jawaban Aruna biasanya tidak selalu beres.
"Mau martabak," jawab Aruna.
"Rasa apa?"
"Rasa yang nggak harus dipendam karena takut kalau diungkapin hubungannya jadi nggak baik."
Angkasa menaikkan alisnya, menggeleng-geleng, "Oke, berarti rasa cokelat," putus laki-laki itu.
Aruna tertawa kecil ditengah pedisnya luka dilututnya itu, ia lalu menatap nanar ke arah handphonenya, menyadari pesannya tak kunjung di balas sejak sejam yang lalu.
Sebenarnya apa yang diharapkan pada rasa yang belum tentu jatuh kepada kita?
Sebelum terlalu jauh, kita tidak perlu merasa jadi favorit seseorang.
***
"Siapa itu Razi? kenapa kamu pinjamin dia buku paket matematika? Kenapa dia nggak pinjam ke teman sesama laki-laki?" pertanyaan beruntun itu keluar dari mulut Ayah Ilusi ketika mereka sedang menikmati hidangan makan malam bersama.
Ilusi sudah bisa menebak, Ayahnya akan menanyakan hal ini. Tidak mungkin Ayahnya membiarkan laki-laki asing datang ke rumahnya lalu berinteraksi seperti itu dengannya, dengan putrinya juga.