VOTE DULUU
SELAMAT MEMBACA, SEMOGA SUKA AAMIIN.
25. BERSAMA MIMPI YANG MASIH
Semoga kita punya banyak cara untuk tetap sama-sama.
***Malam ini, di suasana yang sebelumnya tenang, tiba-tiba Aruna jadi pembicaraan di antara meja-meja yang ada di sebelahnya. Teman-teman Ayahnya menyebut namanya berkali-kali setelah terlibat pembicaraan perjodohan untuk anak-anak mereka.
Jujur, Aruna tidak tahu siapa yang memulai ide ini.
"Aruna, kamu mau nggak dijodohin sama Razi?"
Bayangkan saja, betapa sempurnanya dua keluarga kaya raya itu jika hal ini terjadi. Ekonomi, dan hubungan pertemanan akan mekar dengan cepat.
"Kalau mau, tolong cepat bilang, kesempatan cuma hadir sekali," ucap yang lainnya.
Aruna menatap teman-teman Ayahnya yang antusias membicarakannya itu. Dengan sopan, Aruna membalas, "Nggak, om, hehe."
"Kenapa? kamu ada pacar kah?"
"Jomblo dia, Om," Angkasa menyahut. Seolah membiarkan teman-teman Ayahnya semakin memperpanjang percakapan itu.
"Kalau begitu, mau saja, kita ini angkatan 89 harus punya minimal satu penerus. Harus ada salah satu anak dari kita yang saling berjodoh," jelas pria yang memakai topi hitam.
"Yang lain saja, Om," tolak Aruna. Tangannya kemudian ia sibukkan mengaduk-aduk jus jeruk yang ada dihadapannya.
Ayah Aruna, Satya Adinata, tersenyum tipis mendengar penolakan putrinya. "Kamu dekat kan sama Razi?"
Aruna mengangguk. Dekat, tapi mungkin hanya sekadar bestfriend? teman main basket? atau dua orang yang diciptakan di bumi untuk saling mengenal saja? Ya, Aruna memang tidak suka menyimpan anggapan yang lebih. Apalagi hanya mengukur dari perasaan yang sepihak saja.
"Kamu suka dia?" tanya Satya, suaranya itu hanya bisa di dengar oleh Aruna.
"Kenapa sih, Ayah?"
"Nggak apa-apa, Ayah cuma bertanya."
Suka, jawabannya. Aruna tidak munafik. Dia senang dengan semua yang bersangkutan dengan Razi. Aruna selalu tertarik untuk terus menatap Razi, bagaimanapun kondisinya. Aruna selalu punya anggapan yang sedikit berlebihan tentang laki-laki itu.
"Gimana, Pak Fata? setuju nggak kalau Razi sama Aruna?" Pak Kasim meminta persetujuan dengan Ayah Razi di meja yang jaraknya ada empat meja dari meja Aruna tempati.
"Saya setuju-setuju saja, saya selalu menerima siapapun yang di pilih oleh anak saya," jawab Ayah Razi disertai kekehan kecil di akhirnya.
"Oke, di sini, pihak orang tuanya, sudah oke," teriak Pak Kasim, memberitahu meja-meja yang lain.
Acara reuni ini sungguh sangat seru, bagi mereka angkatan 89. Orang tua, senang sekali membuat kecocok-cocokan seperti ini. Seperti, mereka selalu antusias lebih dulu, sebelum adanya persetujuan.
Bu Sari, yang duduk di meja nomor lima, menyahut, "Nggak usah ada jodoh-jodohan kayak gini, kalau takdir, pasti akan menemukan jalannya sendiri."
Ayah Ilusi mengangguk sepakat, "Fokus sekolah dulu, bagusnya."
Melupakan sejenak soal perjodohan itu, Ayah Razi bertanya ke Ayah Ilusi, "Kamu dan keluarga jadi pindah ke Bogor?"
"Jadi."
"Jakarta akan menjadi kenangan dong?"
"Ya, sepertinya begitu."
Berat tentunya untuk meng-iyakan, tapi, manusia memang hanya sekadar sedang berjalan di muka dunia ini. Menanti-nanti, cerita pindah, pergi, dan pulang lainnya.