VOTE DULU YAA
SELAMAT MEMBACA, SEMOGA SUKA, AAMIIN.
27. KATANYA, HIDUP AKAN TERUS TERTAWA
Meski hanya sekadar ketidakmungkinan, tapi, aku sudah cukup senang untuk itu.
***2 hari sebelum pindah ke Bogor.
Waktu kepindahan mereka, dimajukan lebih cepat, katanya, supaya ada waktu untuk istirahat, menata tempat tinggal, dan mengurus perlengkapan lainnya.
Ilusi baru saja sudah memberitahu Bunga dan Genta tentang kepindahannya. Dan, sekarang dua sahabatnya itu sedang mojok di meja masing-masing. Tentu, ini bukan fase yang menyenangkan di hidup Ilusi. Perpisahan dan kepindahan selalu melibatkan banyak sekali rasa penuh sesak di dada. Nanti, di hari selanjutnya, Ilusi tidak tahu, bagaimana harus mengenang ini.
"Gue nggak ulang tahun, nggak usah prank," sahut Genta. Terlihat wajahnya memerah.
Bunga mengangguk, "Ilusi, kayaknya lo salah tanggal, ulang tahun gue juga masih ada dua bulan, lagi," kata Bunga. Masih dalam posisi menenggelamkan wajahnya di antara jarinya.
Ilusi meraih map putih dari dalam tasnya, "Surat pindah."
Bunga dan Genta meneliti surat itu. Memastikannya dengan baik.
Benar, tertera keterangan pindah sekolah.
Sebagai seorang sahabat, dada kedua naik turun, merasakan akan betapa sepinya SMA ADROMEDA dan persahabatan mereka jika Ilusi benar-benar pindah. Yang dulunya terbiasa bertiga, pasti akan sangat berbeda, jika hanya tersisa Bunga dan Genta saja.
"Asli, gue nggak mau lo pindah, Si," suara Bunga terdengar serak. "Lo sahabat perempuan gue satu-satunya, Ilusi, kalau lo pindah? gue udah nggak punya sahabat perempuan."
Genta memilih diam.
"Jangan ke Bogor, ya, Ilusi?" bujuk Bunga.
"Nggak bisa, Nga, semua keluarga gue akan pindah ke Bogor," jawab Ilusi.
"Lo tinggal aja di rumah gue, kita hidup sama-sama, biar Ayah dan Ibu gue yang jagain lo," kata Bunga lagi seraya memegang kedua tangan Ilusi, meyakinkannya. "Di rumah gue, lo terjamin kok."
Ilusi tersenyum kecut, "Tapi, ini udah keputusan Ayah gue yang paling bulat, Nga."
Ayah Ilusi itu, tak tertandingi dalam mengambil keputusan. Dia kepala keluarga yang semua maunya, harus dituruti. Empat tahun bersahabat dengan Ilusi, Bunga sangat tahu tentang karakter Ayah dari sahabatnya itu. Dulu, juga, Bunga pernah merasakan bagaimana susahnya mengajak Ilusi keluar, bahkan hanya untuk makan es krim saja. Memang, setiap Ayah, punya cerita masing-masing di hidup anak-anaknya.
"Lo di Bogor sampai kapan?" tanya Genta, berusaha mengatur raut sedihnya.
"Sampai selamanya."
Genta menaikkan alisnya, kata selamanya yang digunakan Ilusi terlalu ambigu. "Jadi lo nggak akan balik lagi ke sini?"
Ilusi menggeleng. "Rencana Ayah, gue akan selesaikan SMA di sana, dan kuliah di sana juga."
"Dan melupakan kita?"
"Ya enggaklah... gue nggak akan lupa sama lo, sama Bunga, juga."
Perpisahan itu selalu berhubungan erat dengan memori. Tapi, sebenarnya, seberapa lama manusia akan mengingat manusia lain di kepalanya? apakah semua benar-benar akan terlupakan jika waktunya? atau kita yang memang sengaja tidak mengingatnya lagi?
"Anjing! sedih banget gue," umpat Genta. "Lo cewek pertama yang buat gue sedih, Ilusi."
"Tapi, kalau gue ada libur, gue pasti akan ke Jakarta kok," ucap Ilusi menenangkan. Rata-rata yang pergi memang selalu mengatakan janji yang seperti ini.