Malam itu aku bermimpi untuk pertama kalinya sejak bereinkarnasi ke dunia asing ini.
Aku pikir, itu hal yang wajar karena aku hanyalah jiwa yang berdiam di dalam tubuh Sierra.
Mungkin itu memanglah pengecualian.
Namun, malam itu aku memang benar bermimpi.
Aku tidak mengerti apa alasannya. Hal terakhir yang kuingat adalah Ferdinand datang ke kamarku saat aku masih bersedih.
Aku ingat dia menggenggam tanganku. Aku ingat bagaimana Ferdinand memeluk dan memberi ciuman di dahi.
Tangisanku perlahan mereda dan napasku memelan. Aku selalu lupa mengatakan bahwa aku menyukai sisi Ferdinand yang lembut ini. Dialah alasan rasa aman yang melingkupi diriku.
Dia sering pula melakukannya usai kami bercinta. Salah satu alasan mengapa aku masih bersedia ditiduri olehnya meski rasanya kadang aku berharap bukan ini jalur cerita kami.
Sayangnya, mimpiku malam itu jarang muncul wajah Ferdinand.
Justru wajah yang kutemui di dalam mimpi ialah wajah Sierra itu sendiri.
"Halo." Gadis itu duduk di atas bangku dekat sebuah lampu jalanan.
Tempat ini berlantai putih. Berdinding putih. Berlangit putih. Bahkan pakaianku dan pakaian Sierra juga putih.
Aku mengangkat kedua tangan dan kau tahu apa yang kutemukan? Kulit yang seputih tulang.
Wujudku sebagai Sierra sudah tidak ada. Aku tidak lagi memiliki rambut merah. Aku tidak lagi memiliki tubuh kurus. Atau mata kelabu.
Aku bukan lagi Sierra saat itu.
Aku adalah aku.
Aku ialah jiwa yang tersesat dari dunia lain dan menumpang di dalam cangkang kosong.
"Siapa namamu?" Sierra masih mendongak, mengharap sebuah jawaban.
Aku membuka mulut dan kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Aku termangu di detik itu.
Siapa namaku sebelum Sierra ya?
Namaku ... Namaku ....
Aku sudah lama tak mengingatnya lagi.
"Aku tidak tahu." Aku menggeleng. "Aku sudah lupa siapa namaku sebelum menjadi dirimu."
Semua orang di dunia itu membuatku terbiasa pula memanggilku Sierra.
Aku juga ... sudah menerima kenyataan bahwa diriku hidup sebagai Sierra.
Seketika perasaan itu memenuhi diri, seberkas api hijau muncul seketika bagaikan lentera. Seluruh ruangan putih pun berubah menjadi warna langit malam. Bintang-bintang menjadi atap bersama awan kelabu yang menemani bulan purnama.
Aku tak tahu lagi apa yang sedang kujejaki. Segalanya terasa benar meski tak masuk akal.
"Api itu kenapa muncul?" Aku menunjuk barisan bola-bola api hijau yang entah kemana ujungnya.
Sierra bangkit dari bangku dan berkata, "Itu sihir Ferdinand. Cantik kan?"
Saat kuperhatikan baik-baik, bola api yang berpendar samar itu memberi rasa hangat. Dari luar dia tampak asing, dan suatu hal yang ganjil. Aku bisa saja terbakar jika menyentuhnya.
"Dia tidak akan melukai kita." Sierra mengambil tanganku dan kami mulai berjalan mengikuti barisan api milik Ferdinand.
"Ferdinand akan menuntun kita pulang," lanjut Sierra lagi.
"Pulang?" Aku belum bisa memahami ucapannya saat itu. "Pulang kemana?"
Sierra mengangkat sudut bibirnya sedikit. "Pulang ke surga yang Ferdinand janjinkan untuk kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sierra's Home [ TAMAT ]
Romance21+ "Aku mohon." Suaraku merendah. "Biarkan aku mati, Tuan Ferdinand. Aku hanya menginginkan malaikat kematian menjemputku ke alam baka. Jangan bawa aku ke Ruthia!" Ada yang aneh dengan cerita Sleepless yang kuingat. Sierra Edelweis Von Northland...