Part 6 : Welcome to Libya

34 18 5
                                    

"Selamat ya, Er."

"Terimakasih," ucap Erika tak lupa tersenyum setelahnya.

Erika duduk kembali. Kakinya terasa sangat pegal akibat berdiri terlalu lama. Ralat, bukan hanya kaki saja. Pipi paling terasa sakit karena terlalu lama tersenyum, semua badan juga sama lelahnya. Ia bersandar ke samping dan memejamkan matanya. Melepas lelah yang dirasakannya sejenak.

"Er!"

Erika sontak berdiri dan tersenyum dan menyalami para tamu undangan dengan ramah.

"Happy wedding, ya! Semoga sakinah mawaddah warahmah. Emang gue udah nyangka sih lo yang akan nikah pertama."

Teman sekolah Erika saat SMA menyalaminya.

Ya, benar juga temannya ini. Saat kuliah ia memang ditebak akan pertama menikah dibanding teman-temannya yang lain. Erika dikenal dengan kepintarannya, dan juga ia pendiam namun ramah. Definisi anggun adalah dirinya. Maka tak heran jika ia menjadi orang pilihan sebagai ibu rumah tangga pertama di angkatannya.

"Btw ini dapet bule dari mana? Ganteng banget, Er."

Erika tertawa pelan. Bule tampan nan kaya ini ia dapatkan dari mana? Haruskah ia menjawab bahwa ia mendapatkan Edgar sebagai pengganti dua miliyar?

"Hm ... "

"Ayo ... darimana? Tutor dong, biar kita juga ketularan dapet bule."

"Pelanggan resto ayah gue kan banyak dan gak semua dari Indonesia kan?" Erika cengengesan, merasa bangga akan jawaban yang sangat brilian menurutnya.

Pinter juga ya gue.

"Oalah begitu, toh. Keknya kita juga harus buka restoran, guys."

Semua tertawa. Mereka pamit pergi ke rumahnya masing-masing. Erika kembali duduk. Kali ini dengan napas tersengal ia menghembuskan napasnya dengan kasar. Ia sungguh lelah kali ini.

Gini amat sih, nikah.

Erika memejamkan matanya. Mencoba melebur penat sebelum harus tersenyum dan menyalami lagi para tamu.

"Kau lelah?" tanya Edgar.

"A little bit," jawab Erika tanpa berniat melirik Edgar sedikitpun.

"Kalau begitu istirahatlah."

Kening Erika mengerut. "Memang bisa seperti itu?"

"Memang tidak bisa?"

"Tidak boleh seperti itu. Untuk menghormati tamu, pengantin harus siap dipajang di pelaminan."

Edgar ikut duduk dan bersandar ke sofa. Mengetahui ada pergerakan di sampingnya Erika menoleh.

"Kau memang tidak lelah?"

"Aku sudah terbiasa." Edgar dengan wajah datarnya pun memejamkan mata. Tampaknya ia memang lelah.

"Tapi lelah, kan?"

Edgar menoleh, menatap Erika dengan seksama.

"Memang kau mau apa kalau aku lelah?"

Erika membalas tatapannya. Benar juga katanya. Memang ia harus bagaimana jika Edgar kelelahan?

"Aku tidak tahu, tapi setidaknya aku bisa membantumu jika kau butuh sesuatu."

Edgar masih menatap Erika. Wanita ini benar-benar polos. Edgar merasa terlalu jahat untuk melibatkan Erika dalam rencananya.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?"

Edgar akhirnya sadar. Ia terlalu lama menatap wanita di hadapannya ini.

Magic Talinna [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang