Part 18 : Ada Yang Salah

9 3 1
                                    

"Erika!" teriak ilario.

Wanita itu menoleh. Ia mendapati ilario yang tergesa-gesa sembari membawa secarik kertas. Ilario sudah ceria sekarang. Dan Erika mensyukuri hal itu.

"Aw.... Kau berisik sekali. Kupingku kaget mendengarnya."

Erika menutup telinganya. Sebenarnya suara ilario tidak semenusuk itu. Namun entah mengapa akhir-akhir ini ia sangat senang bercanda dengan ilario.

"Kau ini. Padahal aku membawa berita baik sekali."

Mendengarnya Erika berubah menjadi antusias. Tingkat penasarannya memang sangat tinggi.

"Aku ingin lihat."

Ilario menyembunyikan kertas tersebut. Erika berusaha mengambilnya. Namun dengan cekatan ilario memindeahan tanganya agar tidak tergapai oleh Erika. Ilario tertawa melihat Erika yang kesulitan mengambil kertas yang di pegangnya.

"Okay, karna ku kasihan padamu jadi aku akan memberikannya."

Erika akhirnya sumingrah dengan kekalahan Ilario. Pria itu hendak memberi kertas yang di pegangnya. Saat akan di ambil Erika, ilario mengambil kertas itu kembali. Hal itu membuat Erika jengkel setengah mati.

"Sangat menyebalkan. Pantas saja gendut!" ejek Erika.

Mendengarnya Ilario tidak terima.

"Apa hubungannya?"

"Pokoknya kau menyebalkan! Mau ku sebut gendut?"

"Aku tidak gendut!"

"Lalu apa?"

"Lebih berisi."

Gelakan tawa Erika terdengar renyah di telinga Ilario yang menahan kekesalannya. Dengan pasrah ia menyerahkan kertas itu pada Erika.

"Harusnya dari tadi!" Erika mengambilnya cepat.

Ia merapihkan kertas tersebut dan dengan teliti ia membacanya. Erika berpikir keras setelah membacanya.

"Bukankah kau ingin cepat menjadi dokter, ini kesempatanmu!"

Ilario berusaha mengajak Erika mengikuti event lomba Magic Talinna. Erika sangat ingin mengikuti event ini. Namun ada terselip keraguan dalam hatinya.

"Aku ingin ikut tapi...."

"Tapi apa?"

"Aku tidak yakin bisa memenangkannya."

Ilario menepuk bahu Erika pelan.

"Lomba bukan tentang menang atau kalah, Er. Tapi tentang apakah kau berhasil mencapai tujuanmu atau tidak."

Erika tersenyum. Perkataan Ilario memang benar adanya. Sangat membantu. Ia akhirnya memantapkan hatinya untuk mengikuti lomba ini.

"Jadi bagaimana? Mau ikut?" Erika mengangguk Pasti. Ada Edgar yang membantu.

"Aku pamit dulu." Erika beranjak dari duduknya. Ilario mengangguk.

"Bilang ke kak Edgar ya!"

"Pasti!" sahut Erika ambil terus berjalan. Ilario tersenyum. Namun senyuman tersebut seperti memencarkan rasa iba pada Erika. Ia mengeluarkan ponselnya. Lalu mencari satu nomor yang sangat penting baginya.

Sudah akan ikut. Ilario menekan send.

***

"Sudah lancer berbahasa Libya ternyata."

Erika tertawa canggung. Ucapan itu bagaikan pujian atas hasil kerja keras belajarnya selama mengikuti les bersama Nayna.

"Terimakasih, bu." Erika tersenyum setelahnya.

"Terimakasih kembali."

Erika mengernyit " Terimakasih kembali?"

Nayna mengangguk. "Aku jadi tidak kesepian di rumah."

"Tuan Rudolf tidak ada di rumah?"

Nayna menggeleng. Mendengar nama suaminya itu membuat mood -nya jadi jelek,.

"Apa kami terlihat seperti pasutri?"

Erika terdiam mendengarnya. Memang tidak di pungkiri jika Nayna dan Rudolf bukan seperti pasangan suami istri pada umumnya. Baik Erika, Nayna, maupun orang-orang sekitarnya pasti mengira mereka bukan pasangan suami istri.

"Setelah kau pulang dari rumahku. Malamnya aku bermimpi."

"Mimpi?"

Nayna mengangguk. " Mimpi yang sangat aneh."

"Seperti apa mimpinya?"

"Aku melihat orang yang sangat tampan dan mengaku sebagai suamiku. Setelah bangun, aku melihat Rudolf seperti bukan suamiku. Pria di mimpiku dan Rudolf adalah dua orang yang berbeda."

Erika diam menyimak. Ia merasa ada yang aneh dalam diri Nayna.

"Aku juga bahkan tak ingat bagaimana aku menikah dengan Rudolf. Malam pun dia jarang pulang ke rumah."

"Tidak ingat? Padahal menikah termasuk hal yang sakral."

"Betul sekali. Sayangnya aku sama sekali tidak mengingat hal itu."

Erika lagi tediam. Ia menatap lekat wajah Nayna yang sangat putih. Hari ini Nayna tidak memakai make up sama sekali yang membuat wajah aslinya terpancar. Wajahnya yang pucat membuat menebak seseatu.

"Bolehkah aku meminta sedikit darahmu?" tanya Erika.

Nayna mengernyit "Untuk apa?"

"Ku periksa. Aku merasa ada yang aneh tentang ibu dan Tuan Rudolf."

"Kau yakin?"

"Entahlah aku baru merasa saja. Lagipula mengapa harus tak yakin?"

Nayna terdiam. Benar yang Erika katakan. Apa yang membuatnya tak yakin? Pertanyaan andalan Erika selalu sukses membuat sekitarnya menjadi yakin.

***

"Erika."

Sedangkan yang di panggil tidak menyahut. Edgar selalu sabar menghadapi Erika yang kadang-kadang tidak bisa di ajak bicara. Tangannya menyentuh lutut Erika. Saat ini Edgar tidak bisa menghadap Erika karena posisinya sedang menyetir mobil. Erika melirik Edgar. Ia tersenyum melihat wajah Edgar yang cerah itu.

"Kenapa tidak petik jari saja?"

"Kita sedang berada di kota. Kalau ketahuan mereka bisa pingsan."

Erika tertawa kecil mendengar alasan Edgar. Ia sebenernya belum bisa melupakan masalah Nayna. Erika akan meminjam lab Edgar untuk meniliti.

"Apa yang menganggu pikiranmu?" tanya Edgar dengan lembut.

"Huft... apa kekuatan kita bisa mengetahui masa lalu?"

"Sayangnya tidak bisa. Kekuatan ini hanya bisa untuk benda saja."

Erika menyayangkan hal itu. Padahal akan lebih mudah untuk mengetahui masa lalunya. Ia berpikir sejenak.

"Hanya untuk benda.... Apakah air itu benda?"

"Hm... kau bisa mencampurkannya."

"Okay."

"Kenapa kau mempertanyakannya?"

"Ada sesuatu yang harus ku selidiki."

Edgar diam tidak menanggapi. Sebelum itupun Edgar sudah tahu apa yang akan Erika selidiki tanpa istrinya memberitahu.

Kau yakin ini aman? Edgar mengirim pesan teleportasi.

Mengapa harus tak yakin?

Edgar terdiam. Ayah dan anaknya sama saja.

Magic Talinna [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang