Part 3: Lamaran

51 28 2
                                    

"Permisi, apakah ini rumah Tuan. Haidar Zayn Ozcivit?"

Haidar tersenyum ramah dan mengiyakan jawaban dari tamu tersebut. Erika mengintip dari belakang punggung Haidar. Memastikan bahwa tamu yang datang benar-benar bule yang kemarin datang ke kantor administrasi.

Ternyata memang itu orangnya.

"Saya membawa anak saya untuk dipertemukan dengan anak anda."

Winda melongo dibuatnya.

"Kok bule, Er?"

"Memang bule, Win."

"Lo gak bilang kalau yang bakal nikahin lo itu bule."

"Harus?" Erika memasang wajah menyebalkannya.

Winda jengkel setengah mati. Teman macam apa pula Erika ini. Menurutnya informasi ini penting sangat penting dan Erika melupakannya.

Erika mencari mana yang bule itu maksud sebagai anaknya hingga matanya berpapasan dengan seseorang yang paling tinggi perawakannya. Lebih kurus dari bodyguard-nya namun lebih berkharisma. Lelaki itu menatapnya lekat hingga membuat Erika salah tingkah.

"Ganteng, Er," goda Winda seraya mendapat pukulan mendarat dari Erika ke pahanya.

"Erika?" Ayahnya memanggil membuat Erika spontan menoleh kearah Haidar.

"Bawakan minum untuk tamu, ya."

"Iya, yah."

Erika pergi ke dapur untuk membawakan minuman untuk tamunya. Erika merasa jantungnya berdegup kencang. Ia meruntuki dirinya sendiri. Ada apa dengan dirinya? Hanya baru sekali bertemu saja jantungnya tidak karuan seperti ini. Ia tidak memungkiri bahwa calon suaminya itu tampan bukan kepalang. Tapi apakah harus jantungnya berdetak sekencang ini?

"Cie, yang calon suaminya ganteng."

Sepertinya Winda mengikutinya ke dapur. Sebenarnya niat Winda hanya ingin memberikan Erika minum, atas permintaan Haidar. Erika mengahadap ke arah Winda. Winda sangat terkejut saat melihat wajah Erika yang sangat merah.

"Wajah lo, Er? Kok seperti kepiting rebus, hahaha." Winda tertawa sangat puas melihat Erika salah tingkah seperti ini. Barang langka memang. Teringat akan langka, Winda segera mengeluarkan ponselnya dan segera memotret wajah merahnya Erika.

"Eh, jangan difoto dong. Jelek banget lagi," ujar Erika saat melihat hasil potretan Winda.

"Enggak ada jelek-jeleknya, Er. Lo selalu cantik kok."

Erika tersenyum malu mendengarnya. Memang paras khas turki-nya sangat kental membuat mata manapun yang memandang kan selalu memuji kecantikannya.

"Nih! Minum dulu! Kalau sudah di depan gak bisa minum lagi deh, lo."

Winda menyodorkan satu gelas yang langsung Erika minum semuanya tanpa tersisa.

"Sudah, bawa sana minumnya! Nanti tamu lo mati kehausan kan gak seru ceritanya," ucap Winda disusuli delikkan dari Erika setelahnya.

Erika membawa minuman ke tengah rumah untuk disajikan kepada para tamu. Meninggalkan Winda sendirian di dapur yang meratapi nasib dirinya sendiri. Menatap kepergian Erika membuatnya sadar bahwa Erika juga tak lama lagi akan pergi meninggalkannya. Ia akan merindukan sahabat terbaiknya itu.

***

"Silahkan, Sir."

Haidar menoleh kearah putrinya. Memastikan apakah Erika terlihat baik-baik saja.

"Kamu enggak kenapa-kenapa, Er?"

Erika menggeleng, meski sejujurnya Erika merasa ada yang salah dengan dirinya. Ia merasa seolah hatinya lebih tenang dan siap menerima semuanya. Padahal baru saja ia merasa panic dan salah tingkah. Dalam sekejap rasa panik dan salah tingkah itu hilang tiba-tiba. Erika bingung dengan dirinya yang cepat berubah.

"Jadi bagaimana? Kau menerima lamaran ini?"

Erika menoleh kearah ayahnya. Dengan tatapan tenang, Haidar mengusap lembut tangan putrinya itu. Matanya seolah memberi saran bahwa pilihan berada di tangan Erika. Semua tergantung keputusan Erika.

Melihat mata yang dimiliki oleh orang yang paling ia sayang membuat dia semakin yakin bahwa jawabannya adalah, "iya." Erika mengangguk setelahnya.

Semua nampak bahagia dengan jawaban Erika. Beda dengan Erika yang masih merasa bingung dengan semuanya. Bagaimana jurnal yang telah ia susun untuk mencapai cita-citanya. Seketika ide cemerlang melintas di otaknya.

"Tapi bolehkah saya meminta sesuatu, setelah saya menikah dengan anak anda?"

Dahi bule itu mengerut. Erika hanya bersikap biasa saja namun kentara sekali di wajahnya menyiratkan kegugupan.

"Sure, what wrong?"

"Bolehkah saya kuliah setelah menikah?"

Bule itu menatap Erika dengan intens. Erika takut tidak ada izin dari bule itu. Apakah masih ada harapan untuknya mencapai cita-cita?

"Bagaimana Edgar? Apakah kau mengizinkan?"

Namanya Edgar. Ah, namanya terdengar asing sekali di negara ini. Erika samar-samar melirik Edgar sambil menunggu jawaban yang akan terlontar dari mulutnya. Ia sekilas melirik Erika dan terpaku cukup lama. Hal itu berhasil membuat Erika memalingkan wajahnya.

'pake lirik segala, sih' batinnya merutuki lelaki penyandang status calon suaminya itu.

"Tentu, boleh."

Erika hampir saja berteriak. Namun untunglah tertahan. Ia memberikan senyum terbaiknya kepada semua orang. Meski takdirnya agak mengejutkan bagi Erika, banyak sekali untungnya yang ia dapat. Erika menoleh kearah Winda, dilihatnya Winda berkaca-kaca menahan tangis. Erika menghampiri Winda dan memeluknya.

"Congrats ya, Er. Lo bakal kuliah di luar negeri. Lo keren, Er."

Winda tak kuasa menahan tangisnya. Runtuhlah sudah pertahan Winda untuk tidak menangis. Erika ikut menangis pula.

"Terima kasih ya udah mau ngajarin bahasa Inggris ke gue. Sekarang ke pake, Win."

"Gue ajarin supaya emang lo gak bodoh di bidang bahasa Inggris."

Erika menepuk pelan punggung Winda. Mereka larut dalam tangisan bahagia. Walau Erika sebenarnya tak mengerti mengapa ia bahagia karena pernikahan latar belakang denda ini. Bukankah seharusnya ia sedih? Tapi tak apa, tuhan selalu memberi kebahagiaan walau dengan cara yang agak mengejutkan. Haidar menghampiri mereka dan ikut serta memeluk keduanya. Ia menengok ke belakang tanpa melepaskan pelukannya lalu memberi senyuman khasnya kepada bule-bule tersebut.

***

Malam yang hangat mendominasi Jakarta dan sekitarnya. Termasuk suasana ayah dan anak perempuannya ini.

"Ayah akan ikut ke negara Libya, kan?"

"Tentu tidak."

"Kenapa? Di sini tidak ada siapa-siapa lagi yang kita punya selain restoran."

Haidar tersenyum sembari mengusap kepala Erika yang berada di pahanya. Erika nampaknya takut bahwa ia akan sendirian di sana.

"Restoran adalah alasan kenapa ayah tidak mau ikut ke sana, Sayang. Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau restoran ini satu-satunya jalan supaya bunda bisa ditemukan?"

Erika hanya diam membisu. Perkataan ayahnya tidak melesat sedikit pun. Bundanya menghilang. Bukan karena ia berselingkuh atau kabur dan semacamnya. Bunda Erika diculik setelah beberapa jam melahirkan Erika. Saat itu ekonomi mereka sungguh sangat sulit sekali. Tidak ada foto keluarga atau apapun yang bundanya tinggalkan bisa dikenali oleh Erika. Ia hanya tahu nama belakang bundanya. Nyonya Aegurl.

Mereka bukan berasal dari negara Indonesia. Ayah, ibu dan anak ini, mereka semua berasal dari negara turki. Suatu masalah yang ayahnya hadapi mengharuskan mereka pindah ke Indonesia. Dan Erika tidak pernah tahu kesalahan yang telah ayahnya perbuat sampai mengharuskan mereka pindah dari negara asal mereka. Erika juga tidak berani bertanya apapun tentang itu. Erika yakin itu akan sangat menyakiti hati ayahnya.

"Semoga bunda cepat melihat aku ya."

Haidar menteskan satu butir air mata yang alhasil jatuh ke pipi Erika. Erika sontak duduk dan melihat ayahnya yang menangis. Erika tanpa basa-basi memeluk ayah tercintanya, ia ikut menangis.

"Kau akan menemukan bundamu, Nak. Ayah yakin."

Magic Talinna [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang