02.Hari biasa selalu gagal jadi biasa

239 87 135
                                        


---

Hera tidak suka kejutan.

Baginya, hari yang ideal adalah hari yang berlalu tanpa gangguan, tanpa sapaan, tanpa suara lebih dari yang dibutuhkan. Tapi seperti biasa, hari biasa selalu punya cara untuk gagal menjadi biasa.

Pagi itu di sekolah, langit mendung. Suasana kelas seperti biasa gaduh tanpa arah, suara tawa, bisik-bisik, dan derit kursi yang terus berpindah tempat tanpa alasan yang jelas. Hera duduk di kursinya, membaca lembar soal ulangan yang bahkan belum sempat ia kerjakan semalam.

Bukan karena tidak sempat. Tapi karena tidak ingin,iya terlalu malas.

“Lembar jawab dikumpulkan di depan, satu-satu, jangan berebut!” seru Pak Gunawan dari depan kelas, seperti tape rekaman yang diputar ulang tiap minggu.

Hera berdiri terakhir, mengumpulkan kertas kosong yang hanya terisi nama. Beberapa siswa menoleh ke arahnya, berbisik pelan, menahan tawa.

Dia tahu. Sudah biasa, tidak kaget.

---

Saat istirahat, Hera tidak langsung ke kantin. Dia pergi ke perpustakaan sekolah yang setengah mati dipertahankan eksistensinya. Di sana, rak-rak kayu berdiri canggung dengan buku-buku yang sebagian besar sudah kehilangan warna sampulnya. Aroma debu dan lem buku mengambang di udara, seperti memori lama yang enggan hilang.

Hera duduk di pojok, membuka buku acak tanpa niat membaca sungguhan.

Di sisi lain sekolah, Lutfian berdiri di depan ruang OSIS, sibuk dengan rapat dan catatan acara. Dari luar, dia tampak penuh kontrol, anak teladan, ketua organisasi, wajah ramah kalau diperlukan. Tapi siapa pun yang benar-benar kenal Lutfian tahu, dia punya dua versi: satu untuk dunia, satu untuk orang yang dia peduli.

Dan versi keduanya hanya Hera yang tahu.

Meski tak banyak bicara, Lutfian selalu tahu saat adiknya mulai hancur diam-diam. Pesan singkat, bekal diam-diam, atau hanya tatapan penuh arti saat mereka berpapasan di lorong sekolah semuanya adalah bentuk perhatian yang tidak pernah Hera minta, tapi selalu ia simpan diam-diam, hanya untuk adiknya.

---

Sementara itu, di rumah, Nala sedang duduk di ruang keluarga dengan wajah murung. Nindi, ibunya sedang bicara di telepon, menolak dua undangan arisan sekaligus. Waktu dan perhatian sudah habis sejak pagi untuk pekerjaan dan rapat video.

Nala mendengus pelan. "Mama, Nala mau beli skincare yang itu, loh. Yang Kak Sella pake, katanya bisa bikin glowing."

"Kamu pesen aja yang kamu mau, nanti uangnya mama transfer," jawab Nindi dengan tangan mengelus pucuk kepala Nala tanpa mengalihkan pandangannya dari laptopnya.

"Tapi Nala mau belinya bareng Mama," rengeknya, nada dibuat lebih kecil, lebih manja.

Nindi menghela napas. "Nanti beli sama Mama, Mama meeting dulu."

Nala mengangguk, keinginannya tercapai dengan mudah hanya dengan sedikit merengek.

---

Siang itu, hujan turun, tidak besar tapi cukup membuat Hera menghela nafas lelah. Para siswa berlarian menutupi kepala dengan tas, lengan baju, bahkan buku paket.

Hera duduk di halte depan sekolah, menatap rintik hujan seperti menatap sesuatu yang hilang. Dia lupa bawa payung. Lupa, atau memang tidak niat pulang cepat.

"Her," suara berat itu datang dari belakang.

Lutfian abangnya berdiri di sana, payung hitam di tangan, wajahnya basah sedikit. Dia menatap adiknya tanpa banyak ekspresi, tapi mata itu... selalu tahu caranya bicara.

"Yuk, pulang bareng. Tapi gue bawa motor."

Hera mengangguk pelan. Tidak ada kata ‘terima kasih’ atau yang lainnya yang keluar dari mulutnya, tapi Lutfian tahu kadang, anggukan dari Hera lebih jujur dari seribu ucapan sopan.

---

Sepanjang perjalanan pulang, mereka tidak bicara. Hanya suara hujan dan deru mesin motor yang menemani. Tapi bagi Hera, itu cukup.

Sampai di rumah, Nala sudah di depan cermin, mencoba lip tint baru sambil tersenyum puas. Mbak Lala sibuk di dapur, dan Mamanya masih terkunci di ruang kerja dengan suara rapat dari balik pintu, jangan tanyakan dimana ayahnya, Hera pun tidak tau kemana laki-laki itu.

Hera masuk ke kamarnya. Basah, lelah, tapi tidak ingin mengeluh. Dia duduk di lantai, menatap buku catatan yang kosong.

Buku itu seharusnya berisi tugas hari ini. Tapi sekarang, yang ia tulis hanya satu kalimat:

"Kenapa setiap aku mulai merasa tenang, selalu ada yang mengganggu?”

---

Malamnya, saat semua sudah tidur, Hera duduk di balkon. Langit masih gelap, tapi hujan sudah reda. Jalanan sunyi. Rumah juga.

Ironisnya, malam seperti ini adalah waktu paling hidup bagi Hera. Saat semua suara berhenti, dia bisa mendengar isi kepalanya sendiri.

Dan di sana, ada ribuan pertanyaan yang tidak pernah dijawab.

Apakah aku benar-benar ada?
Atau hanya seseorang yang numpang hidup di antara mereka?

 In Omnia Paratus [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang