-_-_-_-_-_-_-Hari itu, Hera bangun tanpa ingin bicara pada siapa pun.
Bukan karena marah. Bukan juga karena sedih. Tapi karena lelah. Lelah menjelaskan perasaan yang tidak akan pernah benar-benar dipahami, lelah meladeni pertanyaan basa-basi, lelah menerima kalimat yang hanya formalitas.
Jadi, hari itu Hera memilih diam.
Ia bangun, mandi, berpakaian, dan turun ke dapur seperti biasa. Tapi saat Mbak Lala menyapa, “Sarapan dulu, Nduk,” Hera hanya mengangguk pelan. Tak ada “iya, Mbak” seperti biasanya.
Mbak Lala sempat heran, tapi tidak memaksa. Ia tahu, kadang anak itu butuh ruangnya sendiri.
---
Di sekolah, guru Bahasa Indonesia memanggil nama Hera untuk membaca puisi di depan kelas. Hera menatap papan tulis, lalu berdiri pelan. Ia maju ke depan, membuka bukunya, dan memperlihatkan halaman puisinya kepada guru.
“Ibu, saya tidak enak badan. Boleh tidak saya absen membaca hari ini?” katanya lirih, nyaris berbisik.
Guru memperhatikannya sebentar, lalu mengangguk. “Kalau memang tidak enak badan, silakan duduk. Nanti kita ganti jadwalnya.”
Hera duduk kembali, menatap keluar jendela. Hatinya tidak sedang sakit secara fisik. Tapi rasanya seperti tubuhnya ditarik-tarik oleh beban yang tak terlihat. Hari itu, semua suara di dunia terlalu keras. Termasuk suara hatinya sendiri.
---
Istirahat pertama, dua teman sekelasnya datang mendekat.
“Hei, Hera. Ikut ke kantin yuk,” ajak salah satu dari mereka.
Hera tersenyum tipis, lalu menggeleng.
“Laper, kan?”
Ia hanya menunjuk bekal kecil di atas meja. Sebungkus roti isi coklat.
“Oh, oke... ya udah deh. Kalau butuh apa-apa kabarin ya!”
Hera kembali mengangguk.
Mereka pun pergi, meninggalkannya sendiri. Bukan karena tak peduli, tapi karena memang Hera selalu sulit didekati. Seolah ia membangun tembok tinggi di sekelilingnya, dan hanya membiarkan satu-dua orang masuk. Itu pun kalau mereka bersabar.
---
Sepulang sekolah, Hera menemukan ayahnya, Hamka, duduk di ruang tengah. Jarang-jarang beliau pulang lebih cepat.
“Eh, Hera. Sini duduk sama Papa,” panggil Hamka sambil menepuk sofa di sampingnya.
Hera ragu sejenak, lalu duduk. Tapi tetap diam.
Hamka mencoba membuka pembicaraan. “Papa denger dari Mama kamu akhir-akhir ini agak sensitif, ya? Ada yang bisa Papa bantu?”
Hera menoleh perlahan. “Nggak.”
“Papa khawatir. Kamu kayaknya makin diem aja. Makin jauh dari semuanya.”
“Karena memang nggak ada yang bisa dideketin,” jawabnya datar.
Hamka terdiam. Ia ingin menjawab, ingin menyanggah, tapi di dalam hatinya, ia tahu Hera tidak sepenuhnya salah. Ia dan Nindi memang terlalu fokus pada pekerjaan dan juga terlalu fokus pada Nala dan Lutfian yang mereka anggap lebih memiliki keunggulan, terlalu sering lupa kalau Hera juga butuh mereka.
“Maaf ya,,” gumam Hamka akhirnya. “Papa janji bakal lebih sering di rumah.”
Hera mengangguk sekali. Tak menjawab apa-apa. Karena di titik ini, kata-kata sudah tidak cukup. Ia butuh waktu. Butuh bukti. Dan yang paling ia butuhkan sebenarnya bukan permintaan maaf, tapi usaha yang sungguh-sungguh untuk hadir.
---
Malamnya, Hera menulis di bukunya:
“Hari ini aku belajar bahwa diam bisa jadi suara paling keras. Tapi tetap saja, tidak semua orang bisa mendengarnya.”
Ia menutup bukunya. Matanya lelah, tapi jiwanya sedikit lebih ringan. Mungkin bukan karena sesuatu yang berubah, tapi karena hari itu, ia membiarkan dirinya untuk tidak pura-pura kuat.
Dan mungkin, hanya mungkin, diam bisa jadi bahasa yang cukup untuk menyembuhkan luka yang belum sanggup diucapkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
In Omnia Paratus [End]
Novela JuvenilHera merasa seperti hantu di rumahnya sendiri. Ia tak pernah benar-benar dimarahi, tapi juga tak pernah dicari. Ia tumbuh dengan keheningan setiap harinya. Di balik sikap cuek dan tatapan kosongnya, Hera cuma anak yang diam-diam berharap: "Tolong, l...