Draco mendengus kasar ketika melihat Blaise yang sudah duduk dimeja makan. Tempak sosok perih rumahnya tengah menata beberapa menu di atas meja dengan sopan.
Draco berjalan malas dan duduk dengan pasrah. Dia langsung mengambil sarapanya tanpa memerdulikan Blaise yang kini sedang menatapnya dengan pandangan serius.
"Bisakah kita makan dulu. Setelah itu kau bebas untuk mengatakan apapun."
Blaise menghela nafas pasrah, mengikuti perkatan Draco dengan mengambil beberapa lauk dan mulai memakan sarapannya. Sehingga untuk sejenak, suasana pagi itu diisi dengan keheningan. Hanya ada suara dentingan alat makan yang saling berdu.
Sampai beberapa menit kemudian, ketika Blaise meletakan alat makannya ke atas meja dan mulai membuka suara "tidakkah kah berfikir bahwa kau terlalu menyia-nyiakan hidupmu."
"Dan tidakah kau berfikir bahwa hidupku memang tak pernah memiliki arti sejak aku dilahirkan."
Blaise menghela nafas berat. Dia paham dan tau apa yang Draco ucapkan. Tak ada orang lain selain dirinya, Theo, Pansy dan Dephne yang tau seperti apa hidup seorang Draco Malfoy yang sebenarnya. Semua orang mengira Draco adalah anak yang memilik kehidupan sempurna karena merupakan salah satu keturuanan darah murni yang kaya. Nyatanya hidupnya tak lebih dari seekor burung yang terkekang dalam sangkarnya. Memiliki ayah yang seroang diktator bukanlah hal yang menyenangkan. Segala hal yang Draco lakukan adalah perintah dan keinginan ayahnya. Teman, sikap, kepribadian dan bahkan cara berfikirnya.
"Semuanya sudah berahkir sekarang, Lucius sudah tak ada, bukankah itu berarti kebebasan untukmu."
Draco mentapnya dengan sorot dingin menghina "kebebasan apa yang kau maksudkan Blaise Zabini. Segalanya kini menjadi lebih buruk dari kehidupanku yang sebelumnya." Dia meremas rambut platinya dan mengerang keras "hah...walapun dia sudah pergi dia tak akan sudi melepaskan penderitaan ini dariku." Dia bergumam lirih.
"Cissy akan sedih melihatmu seperti ini."
"Dia tak bisa berfikir rasional lagi, apa kau kira dia akan sedih disaat dia bahkan tak megenali anaknya sendiri."
"Setidaknya berusahlah untuk tidak membuatnya lebih buruk kan, jalan hidupmu masih panjang, jangan berfikir seolah segalanya telah berhakir. Datangi ibumu dan bantu dia untuk mengembalikan kewarasannya."
Draco menghela nafas berat. Dia mungkin bisa mempertimbangkan usulan Blaise dengan mengunjungi ibunya. Sudah hampir 6 bulan lebih dia mengurung dirinya di Manor dan melupakan wanita yang dicintainya itu. Ibunya pasti membutuhkannya disaat seperti ini.
"Aku akan mengunjunginya besok."
Blaise tersenyum mendengar keputusan Draco. Setidaknya dia berhasil membujuk pemuda pirang itu meski hanya untuk menemui Narcissa. Setelah ini dia pasti akan berhasil mengajaknya untuk kembali ke Howgrats.
***
Hari ini Draco mengunjungi S.T Mugo bersama Blaise dan Theo untuk menjenguk Narcissa yang sedang menjalani perawatan di sana. Sepanjang lororng yang dilewatinya, tak satupun yang menatapnya dengan pandangan bisa. Semuanya nampak sinis dan seakan siap menerkamnya. Namun, Draco tak perduli, dia sudah terbiasa dan mungkin akan merasa aneh jika mendapatkan tatapan biasa saja dari orang-orang.
Dia membuka pintu ruang perawatan Narcissa. Dikuti Blaise dan Theo yang masih setia mengekorinya di belakang. Matanya langsung tertuju pada sosok wanita yang tengah duduk diam di atas ranjang. Tak bergerak seinci pun seperti patung. Penampilannya tampak berantakan dan kacau, begitu jauh dan berbeda dari penampilannya selama ini yang selalu nampak anggun dan elegan.
Draco mendekat dan kemudian berlutut di depan Naricssa yang masih diam. Tatapanya kosong seakan tak memiliki kehidupan. Memandangnya membuat Draco rasanya ingin menangis. Seharusnya tidak seperti ini, bukan ini kebahagiaan yang dijanjikan ayahnya.
Blaise dan Theo yang melihat keadaan Draco memutuskan untuk keluar, berfikir mungkin Draco menginginkan ruang untuk dirinya berbicara pada ibunya.
Draco meraih tangan Narcissa dan mengenggamnya erat. Rasanya begitu dingin seperti tubuhnya telah lama berdiam diri tanpa adanya penghangat. "Mother, Father telah membohongi kita, seharusnya tidak seperti ini kan? seharusnya Mother tidak berada di sini dan berpenampilan seperti ini. Ini bukan penampilan yang mencerminkan serorang pureblood. Kumohon sadarlah dan kembali ke Manor. Buat aku merasakan harapan sekali lagi, aku akan mengikuti apapun yang Mother katakan jika Mother kembali tinggal bersamaku."
"Draco...apa itu kau?"
Draco mendongkak ketika mendengar suara itu. Matanya menatap lurus sosok wanita yang saat ini berdiri dengan nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air. Sosoknya sekilas mirip dengan Narcissa, hanya saja rambutnya pendek sebahu dan berwanna hitan legam.
"Siapa kau?"
Wanita itu tersenyum. Dia meletakan nampan yang dibawanya ke atas nakas samping ranjang Narcissa, kemudian mengambil tempat duduk dan mendudukan dirinya di sana "Aku Andromeda Tonks, mungkin kau pernah mendengar nama keluarga ini karena kuyakin saat perang ada satu orang yang memiliki marga yang sama."
Draco ingat satu orang itu. Nympandora Tonks kalau tidak Salah namanya. Dia seorang auror yang juga tergabung dengan kelompok Potter saat perang dan juga merupakan istri dari mantan guru pertahanan terhadap ilmu hitamnya yang mengajar saat tahun ketiga. Remus Lupin.
"Kurasa kau ingat. Nympandora adalah anaku dan merupakan sepupumu."
Mata Draco terbelakak. Sepupu? Itu berarti "kau saudara perempuan ibuku yang menikah dengan seorang mudblood."
Andormeda tersenyum kecil mendengar julukan lama itu. Dia tak terlalu merasa sakit hati lagi karena sudah terbiasa dengan julukan itu.
Wanita itu mengangguk "kau mengetahuinya, kutebak Naricssa pernah menceritakan tentangku padamu atau mungkin kau mendengarnya dari Bellatrix. mendengar kata mudblood mengingatkanku pada saudara perempuanku yang satu itu. Dia adalah anggota keluargaku yang paling menentang keputusanku kala itu."
Draco memang mengetahui kalau ibunya memiliki saudara lain selain bibi Bella, dia tau karena nama Andormeda juga tertulis di pohon keluarga Black. Tapi dia tak tau apa yang membuat namanya dihanguskan sampai bibi Bella menceritakan kejadian yang sebenarnya padanya.
"Apa yang kau lakukan disini?"
"Tentu saja menemui ibumu. Cissy sendirian karena tak ada yang menjengguknya bahkan anaknya sendiri tak pernah datang. Apa yang selama ini kau lakukan sampai melupakan keadaan ibumu."
Draco menunduk dalam, tak mampu menjawab. Dia merasa bersalah sekaligus malu. Selama ini ibunya banyak berkorban untuknya tapi ketika wanita itu sakit dia hanya diam saja dan tak melakukan apapun.
Andromeda menghela nafas pelan. Dia mendekat ke arah keponakannya itu kemudian mengelus surai platinanya lembut "sudalah, yang terpenting kau sudah berada disini sekarang."
"Ngomong-ngomong.... kudengar kau menolak surat dari Hogwarts. Kenapa kau menolaknya?" Andromeda kembali duduk. Wanita itu memandang Draco seolah sedang meminta alasannya.
"Itu bukan tempat untuk seorang pelahap maut sepertiku."
"Hogwarts memang bukan tempat untuk seorang pelahap maut, tapi tempat untuk seorang siswa. Kau masih seorang siswa Draco dan Hogwarts adalah tempatmu. Aku yakin kepala sekolah memikirkan hal yang sama, karena itu dia mengirimkan Surat itu kepadamu. Bukankah itu tanda bahwa kau masih diterima di sana?" Andromeda tersenyum kecil melihat Draco yang sepertinya mulai mempertimbangkan perkataanya.
"Lagipula, kudengar kau adalah salah satu murid terpintar setelah Hermione. Apa itu benar?"
Kening Draco mengernyit mendengar nama tak asing itu. Dia menatap tepat Andormeda yang masih mengulas senyum ramahnya "kau mengenal Hermione Granger?"
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴛʜᴇ ʟᴀsᴛ ғɪɢʜᴛ ↬ᴅʀᴀᴍɪᴏɴᴇ ✓
FanfictionSetelah runtuhnya renzim Voldemort dan para pengikutnya, para penyihir kembali membangun dunia sihir yang aman dan tentram. Hermione kembali ke Hogwarts bersama Harry, Ron dan anak-anak tingkat 7 untuk menyusul ketertinggalan selama perang. Mereka...