Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Izinkan saya, Zurah, selir budak yang tak berharga ini menyampaikan banyak terima kasih pada Anda. Terima kasih karena Anda telah bersedia mendengar keluhan kami, bahkan membantu kami bicara dengan khalifah sehingga kami dapat memperoleh kebebasan. Semoga Allah selalu melindungi Anda, Yang Mulia.
Sebagai seorang yang datang dari negeri nan jauh, mungkin sejarah yang mengatakan tentang Anda sebagi ratu yang dermawan dan baik hati adalah sebuah kebenaran. Saya merasa terhormat karena Allah mengizinkan saya mengenal Anda secara langsung, bukan hanya sekedar membaca dari catatan. Saya akan mengenang pertemuan ini dalam hati saya yang paling dalam sebagi hadiah dari Allah.
Semoga keselamatan atasmu, Yang Mulia.
"Ternyata benar, dia adalah temanku dari masa depan juga," gumam Anzilla setelah selsai membaca surat dari Zurah. Dia seolah bisa menelaah makhsud wanita itu.
"Ibu Suri!" Suara itu berhasil mengagetkan Anzilla yang tengah memikirkan soal Zura.
Al-Amin menghampiri ibunya dengan langkah lebar. Wajahnya menyiratkan kemarahan tak terbendung.
"Ada apa?" tanya Anzilla dengan santai, seakan bisa menebak apa yang membuat putra Zubaidah terlihat sangat marah saat ini.
"Bisa-bisanya Ibu masih bersikap santai seperti sekarang setelah yang Ibu lakukan pada anakmu ini." ujar Al-Amin tak terima. Matanya menatap Zubaidah dengan pandangan tajam.
Mendengar ucapan Al-Amin, Anzilla pun bangkit. Dia mengembuskan napas berat, berusaha menahan emosi sebisa mungkin agar tak bertindak impulsif. Beruntung pengendalian dirinya saat ini sudah lumayan bagus, sehingga dia tak membalas kalimat tajam putra Zubaidah dengan balik memakinya. Lagi pula dia juga sudah menduga situasi ini, mengingat watak Al-Amin yang mudah terpengaruh hasutan orang.
"Memang apa yang aku lakukan padamu, anakku? Aku tak merasa berbuat salah."
"Apa benar Ibu Suri bilang pada Ayah Handa, bahwa aku adalah putramu yang tak memiliki jiwa pemimpin?" Al Amin menuntut penjelasan.
Anzilla menatap laki-laki di depannya sejenak, lalu mengembuskan napas lagi. "Aku hanya mengatakan yang sejujurnya. Kau memang tak memiliki bakat menjadi pemimpin, karena yang kau tahu hanyalah merengek seperti ini," jawab Anzilla tajam dan apa adanya. Dia sama sekali tak memliki niat untuk berubah lembut pada laki-laki di depannya.
Tak ayal kalimat itu kembali memancing amarah Al-Amin. "Kenapa Ibu melakukan ini padaku? Jadi benar bahwa Anda lebih mendukung putra budak itu daripada aku ... anakmu?" Al-Amin menekankan kalimatnya, sebagai tanda bahwa dia kini tengah marah.
"Sesungguhnya manusia sama derajatnya di hadapan Allah, hanya iman mereka yang membedakan. Jadi kau tak bisa merendahkan saudaramu hanya karena status ibunya. Percuma saja kau dilahirkan dari keluarga yang mulia kalau cara berpikir mu seperti itu."
Anzilla menggantung kalimat sebelum melanjutkannya kembali, saat tak mendapati respon dari Al-Amin. "Aku bukannya ingin membedakan kalian, tapi seorang pemimpin akan bertanggung jawab pada seluruh rakyat dan juga di hadapan Allah. Ibu hanya berpikir obyektif dan apa adanya. Namun, dari semua itu, kau tak perlu khawatir tak akan bisa menjadi pengganti ayahmu. Apa pun yang terjadi kelak, kau akan tetap menjadi seorang raja." Anzilla berusaha mengatakan kalimat itu dengan hati-hati. Dia tak ingin pertengkaran ini didengar siapa pun.
"Tapi tak seharusnya Ibu menjatuhkan aku di depan Ayah Ha-"
"Berhenti memojokkan ibumu, Nak! Dia hanya ingin mengatakan yang sebenarnya." Khalifah tiba-tiba masuk dan menengahi perdebatan itu.
Anak dan istrinya langsung menunduk hormat ketika dia datang. Bahkan Al-Amin pun tampak kaget. "Maafkan kelancangan anakmu ini, wahai Ayah Handa."
Khalifah mengembuskan napas, lalu menatap dua orang di depannya bergantian, sebelum kemudian dia fokus pada Al-Amin. "Kau tak perlu khawatir soal apapun. Seperti kata ibumu, kau akan menjadi raja lebih dulu sebelum Al'Mamun. Bukanya sudah jelas perjanjiannya seperti itu? Jadi bersabarlah dan jangan mudah terhasut omongan orang. Semarah apapun kau pada ibumu, dia tetap ibumu, wanita yang melahirkanmu, kau wajib menghormatinya. Jadi aku tak akan membiarkanmu menyakitinya apa pun yang terjadi, walaupun kau anakku," tegas khalifah sambil mengarahkan tatapan tajam pada anaknya. Di tempatnya Anzilla pun tertegun, dia menatap khalifah tanpa kedip.
"Maafkan aku, Ayah, aku tak bermaksud untuk itu." Al-Amin terdengar menyesal.
"Sudahlah, aku akan memaafkanmu dan melupakan kejadian hari ini. Tapi lain kali jika kau masih berani meminta ayahmu turun tahta sebelum waktunya, aku tak akan segan-segan mencoret mu jadi putra mahkota," ancam khalifah tak main-main.
mendengar itu wajah Al-Amin pucat pasi. Dia langsung menjatuhkan diri dalam posisi bersimpuh, dengan menumpukan tubuhnya menggunakan lutut. "Tidak, Ayah Handa, hamba mohon jangan berkata seperti itu, kedepannya anakmu ini akan berusaha menghormati semua ketetapan yang sudah kau buat dengan lapang dada."
"Minta maaflah pada ibumu, karena kau sudah berkata kasar padanya."
Al-Amin pun mengangguk, dia bangkit lalu mengalihkan pandangan pada permaisuri. "Maafkan anakmu ini, wahai Ibu, jika kalimat yang tadi aku ucapkan menyakiti perasaanmu."
Anzilla mengembuskan napas lalu mengangguk. Tak butuh waktu lama, Al-Amin pun beranjak dari sana untuk membiarkan ibu dan ayahnya bicara.
Selepas kepergian Al-Amin, khalifah mengalihkan perhatian pada permaisuri. Dia tersenyum lembut pada istrinya. "Kau tak apa, Permaisuriku?" tanyanya kemudian sambil memegang bahu ibu dari anaknya.
Anzilla tersenyum, lalu mengangguk sebagai jawaban. "Aku tak apa, Yang Mulia, terima kasih karena sudah membelaku."
"Sudah kewajibanku melindungimu, karena aku tak akan membiarkan siapa pun menyakitimu walau dia anakku sekalipun," jawab khalifah tulus.
Mendengar itu, Anzilla kembali tersenyum. Dia merasa sangat bersyukur karena bisa dipertemukan dengan khalifah. Walau hingga detik ini Anzilla sama sekali belum mengerti, mengapa harus dia yang terjebak di tubuh permaisuri? Tak butuh waktu lama, wanita itu pun memberanikan diri memeluk laki-laki di depannya.
"Terima kasih, Yang Mulia, berkatmu aku tak pernah merasa kesepian di istana yang besar ini," ujar Anzilla dalam pelukan mereka.
Khalifah pun tersenyum karena ucapan tulus permaisuri. Dia mengeratkan pelukan pada sang istri, lalu mengecup kepalanya penuh sayang.
"Seandainya ada takdir lain yang harus kujalani, aku pasti akan selalu memilihmu untuk menjadi suamiku," gumam Anzilla tanpa ragu.
Mendengar itu, khalifah kembali tersenyum. Dia mendorong bahu permaisuri agar bisa menatapnya, kemudian berucap "Benarkah?"
Anzilla mengangguk yakin sambil menatap mata khalifah dengan senyum menghiasi bibirnya. 'Tapi aku tak yakin kita bisa bertemu lagi, karena aku harus segera pulang ke masa depan' batin Anzilla sedih. Namun, dia tetap berusaha memperlihatkan senyumnya di depan khalifah.
"Semoga Allah menyatukan kita di surga," ujar khalifah, lalu kembali membawa permaisuri ke dalam pelukan. Anzilla pun diam-diam mengaminkan doa khalifah walau kemungkinannya tak akan terjadi.
"Ngomong-ngomong apa kau mau ikut ke Mekah untuk melaksanakan haji?" Khalifah bertanya tanpa melepas pelukan mereka.
Anzilla terdiam sejenak, dia berpikir keras tentang apa itu haji. Ingin sekali bertanya, tapi pasti akan membuat khalifah bingung. Terus bagaimana nanti ketika dia di sana? Sementara Anzilla sama sekali tak tahu tata pelaksanaan Haji. 'Mungkin nanti aku bisa bertanya pada Halima' batin wanita itu akhirnya.
"Bagaimana?" tanya khalifah sekali lagi, karena permaisuri tak kunjung menjawab.
"Ya, aku akan ikut," jawab wanita itu mantap, lalu semakin mengeratkan pelukan.
Kian hari berada di istana itu, Anzilla semakin dibuat bimbang, rasa nyaman karena keberadaan khalifah dan semua sikap lemah lembutnya, terkadang membuat Anzilla menangis tanpa sadar, terlebih ketika membayangkan dia harus pulang ke masa depan dan meninggalkan laki-laki yang tengah mendekapnya. Tapi di sisi lain dia juga merindukan keluarganya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Anzilla dan Sang Khalifah
Narrativa StoricaBest rank : 15 dalam fiksi sejarah. Anzilla Jhonson, wanita Amerika keturunan Yahudi yang begitu benci dengan islam karena cerita turun-temurun di keluarganya. Dia sengaja berkuliah di University Of Bagdad untuk membuktikan kebenaran tentang sejarah...