"Selamat pagi..." Sapa bik Inem dengan senyum cerah setelah pintu kamar terbuka. Namun tak berlangsung lama, karena seketika wajah paniknya terlihat jelas.
"Loh, non, itu kenapa infusnya dilepas?"
Raisa menghela napas sembari memutar bola matanya malas.
"Saya nggak sakit bik! Lagian saya berharap bisa mati secepatnya kenapa malah dirawat seperti ini." Ujarnya dengan nada kecewa.
Bik Inem segera meletakkan nampan berisi makanan di atas meja, kemudian beringsut mendekat ke arah Raisa.
"Bik Inem bantu pasang lagi ya non... Non Raisa belum pulih, nanti lemas lagi."
Dengan cepat Raisa menggeleng. "Enggak, saya nggak mau! Sebaiknya bik Inem segera keluar, saya sedang tidak ingin diganggu."
Wanita paruh baya itu sejenak terdiam. Kemudian mengambil piring yang tadi ia bawa.
"Nanti saya keluar, tapi setelah non Raisa makan ya." Ujarnya berusaha membujuk.
"Saya nggak lapar bik, jangan memaksa!"
"Kalau begitu minum susu saja gimana? Ini tadi bik Inem buatkan khusus biar tenaga non Raisa segera pulih."
Lagi-lagi perempuan itu menggeleng.
"Ayolah non, sedikit saja... Pagi ini non Raisa tetap harus sarapan, biar nanti agak siangan bisa minum obat."
Mendapati paksaan yang tak kunjung berhenti, Raisa menyerah. Ia menatap jengah ke arah nampan besar berisi sejumlah makanan.
Perempuan itu sedikit bingung, karena porsi makanan yang bik Inem kirim lebih banyak dari biasanya.
Pun dengan buah-buahan yang super lengkap.
Sial, semua sudah terpotong dengan baik. Sehingga tidak ada pisau yang wanita itu siapkan.
"Saya mau makan pisang saja," ucap perempuan itu pada akhirnya.
"Oh, boleh, syukurlah non Raisa akhirnya mau nyentuh makanan yang bik Inem kirim."
Tapi baru saja selesai mengupas dan menyodorkan buah pisang ke mulutnya, Raisa langsung memekik pelan.
Ia segera menjauhkan pisang dari mulutnya lalu berlari cepat ke kamar mandi.
Bik Inem yang menyadari kondisi perempuan itu langsung menyusul. Tanpa banyak bicara, ia berusaha memijat tengkuk Raisa supaya sedikit mendingan.
"Tapi... Bik Inem rasa non Raisa tetap harus makan. Supaya nanti bisa minum obat, jadi mualnya bisa berkurang."
"Ini pasti efek masuk angin atau asam lambung, karena non Raisa selama di sini nggak pernah makan teratur..."
Bik Inem berusaha mencari cara untuk menutupi kondisi Raisa yang sebenarnya. Yah, sesuai perintah Arshad, perempuan itu tidak boleh tahu kehamilannya sampai waktu yang tepat tiba.
Tidak peduli dengan ucapan wanita di hadapannya, pikiran Raisa justru semakin kemana-mana.
Ia teringat jika tamu bulanannya belum kunjung tiba. Padahal ini sudah lewat dua Minggu dari jadwal biasanya.
Astaga, jangan-jangan....
"Engh, bik Inem bisa nolongin saya?"
"Tolong apa non? Selama mudah pasti saya bantu. Asalkan bukan nolongin non Raisa keluar dari sini. Itu saya betul-betul tidak bisa."
"No, no, tenang aja bukan soal itu kok. Aku mau minta tolong, nanti siang atau besok pagi kalau bik Inem kirim makanan ke kamar, sekalian bawain saya testpack ya.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Black & Grey
ChickLitRaisa tidak menyangka jika karmanya akan datang secepat ini. Setelah berhasil membujuk sang mama untuk menjual Denara, kini ia justru mengalami hal yang sama. Lebih tidak menyangka lagi, Arini-lah yang sengaja menjualnya. Padahal, bagi Raisa, Arini...