Benar kata orang, jadi perempuan hamil memang tidak mudah. Badan yang pegal akan menjadi keluhan sehari-hari.
Belum lagi tubuh yang mudah lelah, pun dengan mata ngantuk di siang hari, tapi malamnya mendadak insomnia.
Seperti yang Raisa rasakan sekarang. Bukan, bukan hanya malam ini saja. Tapi sudah kerap perempuan itu alami. Terutama setelah menginjak usia kehamilan ketujuh bulan.
Tangannya terasa kebas karena sejak tadi mengusap-usap permukaan perut yang terus bergerak. Sepertinya, sang anak memang sedang ingin bermain.
Gerakannya semakin tak beraturan membuat perempuan itu sesak sendiri.
"Nak, kamu nggak capek ya? Mama udah ngantuk loh," bisiknya berharap sang anak akan mendengar.
Di saat-saat seperti sekarang, perasaan pilu sering tiba-tiba menyergap. Raisa tidak pernah membayangkan akan berada di posisi se-menyedihkan ini.
Dulu, dia selalu berpikir akan menikah dengan pria yang baik. Lalu hidup bahagia di hunian yang layak.
Pasti akan sangat menyenangkan hamil anak pria yang mencintainya. Seseorang yang siap siaga membantu saat sulit tidur, atau menenangkan tendangan-tendangan bayi dengan usapan-usapan kecil, sehingga tidak membuatnya merasa sendirian.
Tapi kini, semuanya pupus. Entah siapa yang salah, namun Raisa tidak akan marah jika banyak orang menyebut ini sebagai bagian dari karmanya.
Sekarang yang Raisa khawatirkan adalah kondisi sang bayi. Ia berharap anaknya tidak akan terkena imbas semua kesalahan yang pernah ia perbuat.
Perempuan itu kembali menatap ke arah pintu. Merasa sedikit heran mengapa bik Inem tidak juga mengantar obatnya.
Padahal biasanya, jadwal minum obat untuk malam hari antara pukul sembilan sampai sepuluh. Bahkan kini jam di kamarnya sudah menunjukkan pukul sebelas lewat.
Apa mungkin lupa, udah lah biarin aja sehari nggak minum nggak papa. Pikirnya kemudian.
Baru saja ingin berbaring, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Namun ternyata yang datang bukan bik Inem, melainkan Arshad.
Perempuan itu kembali duduk bersandar di kepala ranjang dengan posisi siaga.
Untuk apa malam-malam ke sini? Tanyanya dalam hati.
Padahal sejak perbincangan terakhir di mobil sepulang dari rumah sakit, keduanya tidak pernah berinteraksi lagi.
Arshad semakin dekat ke sisi ranjang lalu menyerahkan sebotol air mineral dengan plastik kecil berisi beberapa butir obat.
Raisa dengan cepat menerima dan meminumnya.
"Bik Inem kemana? Tumben bukan dia yang antar?" Tanya perempuan itu dengan nada sangat pelan. Sebenarnya Raisa tidak berniat mencari topik pembicaraan.
Namun melihat Arshad tidak juga beranjak, membuat perempuan itu bingung sendiri harus bereaksi bagaimana.
"Udah tidur." Jawab Arshad singkat tetap dengan raut wajah datar.
Raisa semakin bingung ketika laki-laki di depannya justru duduk di tepi ranjang.
Padahal dia berharap segera meringkuk dalam balik selimut demi meredam gerakan bayi di perutnya yang kian aktif.
"Ini," Tatapan matanya membulat ketika Arshad mengeluarkan ponsel dari saku celana.
Ah iya, benda kecil persegi panjang yang Arshad pegang adalah ponselnya. Yah, meskipun laki-laki itu juga yang membeli. Tetap saja sudah jadi milik Raisa karena memang diberikan.
Lagian Raisa sejatinya sudah lupa dengan ponsel tersebut. Karena sejak tahu keberadaan benda itu justru membuat pikirannya kacau, ia menjadi berpikir tidak ingin menggunakannya lagi.
"Sepertinya aku nggak perlu pegang smartphone. Kemarin telepon kamar yang terhubung ke dapur juga sudah selesai diperbaiki. Jadi aku pakai itu saja." Tolak Raisa sambil menatap benda yang dia maksud.
"Ambil aja apa susahnya? Siapa tahu suatu saat butuh." Mau tidak mau, perempuan itu menurut. Daripada memancing perkara, sebaiknya ia mematuhi semua ucapan Arshad.
"Sekalian ini," Raisa lagi-lagi mengernyit bingung saat Arshad kembali menyodorkan benda asing ke arahnya. Kali ini bentuknya kartu. Ah, bukan ATM, bukan kartu kredit juga. Tapi apa?
"Ini akses keluar masuk kamar. Bik Inem sakit, jadi mulai besok pagi, ambil makanan dan minumanmu sendiri di dapur. Tapi ingat, jangan macam-macam."
Tak peduli dengan ancaman laki-laki itu, Raisa justru terkejut saat tahu ternyata bik Inem sakit.
"Bik Inem sakit? Bukannya tadi sore masih antar makanan ke sini." Arshad hanya diam lalu meletakkan kartu akses tersebut di meja karena Raisa tak kunjung menerima.
"Kalau mau lihat kondisinya besok pagi saja, sekarang beliau sudah tidur." Ujar laki-laki itu dengan nada tegas. Raisa pikir, Arshad memang tidak pernah bisa santai jika sedang bicara padanya.
"Oh oke, apa kamu masih mau di sini? Aku juga udah mau istirahat, aduhh..." Belum sempat menyelesaikan ucapannya, perempuan itu sudah lebih dulu meringis sambil memegangi perutnya.
Awalnya, Arshad tidak berusaha melakukan apapun. Sampai menatap perut Raisa yang terus bergerak membuat hatinya sedikit berdesir.
Tanpa pikir panjang, Arshad semakin mendekat ke arah perempuan di depannya. Sebelah tangannya mulai menyentuh permukaan perut Raisa. Sementara satunya lagi berada di punggung bagian bawah.
Raisa masih memejamkan matanya erat. Ia tahu ada tangan lain yang membantu mengusap perut serta punggungnya. Tak ada niat mencegah gerakan itu, mengingat tenaga Raisa tidak cukup penuh untuk berseteru.
Hampir sepuluh menit masih berada di posisi yang sama. Bahkan tanpa sadar Raisa bersandar di dada bidang Arshad.
"Dari tadi dia gerak terus, gerakannya bikin nyeri seluruh badan..." Keluh calon ibu itu sambil berusaha menetralkan napas. Suaranya juga masih sedikit tersendat, mengingat gerakan intens di perutnya belum juga berhenti.
Arshad sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Tapi tangannya bergerak teratur seperti berusaha menghentikan tendangan-tendangan kecil tersebut.
Ini menjadi kali pertama ia menjumpai gerakan-gerakan dari perut perempuan yang pernah ia lecehkan.
Beberapa bulan lalu saat pertama kali menyentuh perut buncit Raisa, Arshad belum bisa merasakan getaran-getaran seintens ini.
"Sudah lebih tenang, kamu bisa tidur." Ucap laki-laki itu di samping telinga Raisa.
Hingga beberapa detik tak ada jawaban apapun, Arshad beranjak sampai mengetahui bahwa perempuan yang sejak tadi bersandar di dadanya sudah tertidur pulas.
Arshad segera membaringkan Raisa ke posisi yang lebih baik. Kemudian menyelimuti tubuh perempuan itu sampai di atas perut.
Matanya menatap lurus ke wajah damai di depannya. Kemudian mendadak teringat pada pesan dokter yang merawat Raisa beberapa minggu lalu.
"Pembengkakan pada beberapa bagian tubuh ketika hamil memang wajar. Nanti akan normal seiring waktu. Tapi tetap perlu diimbangi dengan gerak."
Laki-laki itu sebenarnya sudah sejak lama berencana menyerahkan kunci kamar pada Raisa. Tapi masih terus dipertimbangkan. Sampai akhirnya baru hari ini dia berani melakukannya.
Harapannya supaya pergerakan perempuan yang kini pulas itu punya ruang gerak yang lebih luas.
Soal hutang, Arshad sudah menyelesaikannya. Sesuai rencana, Djati memang mengirimkan uang yang sempat ia kembalikan.
Nominal yang tidak kecil itu langsung dia bagikan ke beberapa orang yang sempat menagih lewat Instagram.
Arshad tahu, dia melakukan ini untuk sang anak. Bukan semata-mata karena perempuan itu.
Khusus buat malam Minggu double up deh ☺️☺️☺️ Sekali lagi aku tegaskan ini cuma cerita singkat ya wkwkw jadi supaya pembahasannya tidak membosankan dan langsung ke inti beberapa bab lagi mungkin tamat
KAMU SEDANG MEMBACA
Black & Grey
ChickLitRaisa tidak menyangka jika karmanya akan datang secepat ini. Setelah berhasil membujuk sang mama untuk menjual Denara, kini ia justru mengalami hal yang sama. Lebih tidak menyangka lagi, Arini-lah yang sengaja menjualnya. Padahal, bagi Raisa, Arini...