20

9.5K 591 37
                                    

Sama seperti yang Arshad katakan pagi tadi sebelum berangkat, laki-laki itu benar-benar pulang sangat larut. Bahkan lebih larut dari kepulangannya setelah mengecek proyek di Medan.

Namun ia sangat sadar, ini risiko menjadi seorang pemimpin. Harus siap menghadapi ketidaknyamanan seperti lembur-lembur kerja.

Meski sudah merebahkan diri di atas ranjang sejak setengah jam lalu. Namun matanya masih belum bisa terpejam.

Ada banyak hal yang mengganjal pikirannya. Apalagi jika melihat amplop coklat di atas meja.

Tubuhnya kembali bangun lalu meraih amplop itu. Lama diam, akhirnya ia berani keluar kamar. Kemana lagi jika bukan ke kamar Raisa.

Arshad berdiri cukup lama di depan pintu, yang sebenarnya adalah kamarnya sendiri. Namun karena sudah dihuni orang lain, ia berusaha agar lebih beretika.

Gemas dengan tingkahnya, ia pun segera menekan handle pintu.

"Loh, kamu belum tidur?" Tanyanya ketika mendapati Raisa duduk di sofa sambil membaca buku parenting.

Perempuan itu menggeleng pelan, lalu menutup bukunya.

"Aku belum ngantuk, lagian bingung juga Zeev nyenyak banget. Enggak biasanya dia begini. Padahal aku malah siap banget kalau dia ngajak begadang." Jelas Raisa membuat Arshad terkekeh.

Laki-laki itu mendekat ke arah tempat tidur sang anak, kemudian mengusap keningnya.

"Anak baik, enggak rewel." Ujarnya pelan.

Setelah puas memandangi wajah sang buah hati yang memang mirip dengannya, Arshad kembali berdiri.

Ia berjalan ke arah sofa tempat Raisa berada.

"Aku mau ngomong sesuatu,"

"Apa?" Tanya Raisa kemudian meletakkan buku yang sejak tadi berada di tangannya.

"Ini," Laki-laki itu menyerahkan amplop coklat. Padahal Raisa kira, Arshad masuk ke kamarnya untuk ke ruang kerja.

"Boleh aku buka?" Ibu satu anak itu masih bingung dengan amplop yang Arshad berikan.

"Iya, itu memang buat kamu." Tak menunggu lama, perempuan itu membuka amplopnya. Lalu membaca sekilas berkas-berkas di sana.

"Ini, mak-maksudnya gimana?"

"Aku rasa kita memang harus menikah. Enggak mungkin terus-terusan seperti ini."

Ucapan Arshad sontak membuat Raisa menggeleng. 

"Tapi aku pikir ini terlalu cepat. Aku bahkan sama sekali enggak ada pikiran ke arah sana. Jadi sebaiknya kamu enggak usah berencana terlalu jauh." Raisa kembali memasukkan berkas pendaftaran pernikahan itu ke amplop lalu menyerahkan kembali pada pemiliknya.

"Kamu jangan cuma memikirkan tentang kita. Lihat Zeev, dia butuh pengakuan. Dia perlu buat akta kelahiran. Kita enggak bisa tunggu sampai dia besar, Sa."

"Kemarin aku lihat-lihat di internet, katanya kalau anak di luar nikah, dan orangtuanya tidak menikah, dia tetap bisa bikin akta kelahiran. Cukup pakai keterangan nama ibu kandung."

"Lalu maksud kamu namaku enggak tercantum di dalamnya? Enggak bisa. Dia anakku, aku juga harus ada di dokumen penting Zeev."

"Shad, kamu pikirin lagi deh. Menikah itu enggak mudah. Apalagi dengan kondisiku yang sekarang. Kamu nanti repot kalau ternyata ketemu jodoh lain dan perlu merencanakan pernikahan lagi."

Arshad mengernyit bingung. Ia mencoba mencerna kata-kata Raisa barusan.

"Maksud kamu apa sih? Kalau aku sudah menikah sama kamu, untuk apa memikirkan pernikahan lain?"

Black & GreyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang