"Kenapa bik?" Arshad yang baru datang segera menghampiri ART-nya di ruang makan.
Tidak biasanya wanita itu menempelkan kepala di meja.
"Sedikit pusing mas, tapi tadi sudah minum obat."
"Kemarin jadi cek gula darah?"
"Iya, sudah, semuanya normal kok. Hanya saja kata dokter mungkin kecapekan jadi sering pusing." Arshad mengangguk pelan.
"Masih ada yang mau dikerjakan?"
"Enggak, tadi cuma nunggu nasinya matang. Siapa tahu mas Arshad mau makan butuh nasi dingin." Jelas bik Inem, wanita itu sudah hapal jika Arshad tidak suka makan dengan nasi panas.
"Nanti biar saya ambil dan dinginkan sendiri. Kalau bik Inem mau istirahat nggak papa."
"Beneran tidak papa mas?"
"Iya, daripada semakin sakit."
"Kalau begitu saya masuk kamar ya mas.." wanita itu kemudian pergi setelah Arshad mengangguk.
Baru saja ingin menyeduh kopi, dering telepon di samping meja makan berbunyi. Laki-laki itu berusaha acuh dan tetap menikmati kopinya sambil menunggu nasi dingin.
Namun deringnya tak berhenti meski sudah hampir lima menit berlalu. Lama-lama laki-laki itu terganggu juga.
Arshad segera menghampiri alat komunikasi yang tersambung dengan ruangan Raisa tersebut.
Tanpa membuka suara, ia menanti apa yang akan Raisa ucapkan.
"Hallo bik Inem, apa bibi sudah istirahat?" Tanya perempuan itu.
"Kalau belum, saya boleh minta tolong ambilkan air hangat atau kompres. Perutku nyeri banget bik," ucap Raisa dengan nada lemah sebelum menutup panggilannya.
Arshad diam sejenak seraya berpikir ini hanya akal-akalan perempuan itu. Tapi lama-lama jiwa manusiawinya tergerak.
Ia mengambil alat kompres dari lemari perabot dan menuangkan air hangat seperti yang perempuan itu minta.
Setelah siap, laki-laki itu langsung membawa peralatannya ke kamar yang Raisa tempati.
Pemandangan pertama yang ia lihat yaitu posisi Raisa yang meringkuk di bawah selimut tebal.
Sepertinya perempuan itu belum menyadari kehadiran Arshad di kamar.
Benar saja, Raisa memejamkan mata erat sesekali keningnya berkerut seperti sedang berusaha meredam rasa nyeri.
"Mana yang sakit?"
Kedua mata perempuan itu langsung melotot mendapat pertanyaan dari Arshad. Ia sama sekali tidak menduga jika yang akan datang ke kamarnya adalah laki-laki itu.
"Ke-kenapa lo yang datang ke sini?? Bik Inem kemana?" Arshad bisa mendengar suara Raisa yang bergetar.
"Nggak usah cari orang yang nggak ada di sini, sekarang tunjukkan mana yang sakit."
"Lo keluar aja, gue bisa sendiri." Seru Raisa sambil berusaha meraih kompres dari tangan Arshad.
"Nggak usah bantah!" Laki-laki itu dengan sigap menangkap kedua tangan Raisa sambil meremasnya erat.
"Sakit... lepasin,"
"Mana yang butuh dikompres?!"
"Di-di perut... tiba-tiba nyeri," perempuan itu menjelaskan dengan nada masih bergetar.
Arshad tahu Raisa ketakutan, bahkan tangannya juga basah karena keringat.
Tapi sepertinya efek nyeri di perut membuat perempuan itu menjadi semakin sulit bernapas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black & Grey
ChickLitRaisa tidak menyangka jika karmanya akan datang secepat ini. Setelah berhasil membujuk sang mama untuk menjual Denara, kini ia justru mengalami hal yang sama. Lebih tidak menyangka lagi, Arini-lah yang sengaja menjualnya. Padahal, bagi Raisa, Arini...