Raisa menatap lembut ke arah bayi yang akhirnya tidur nyenyak di boxnya. Beberapa menit lalu, bayi mungil yang terbalut selimut tebal bertuliskan Zeev Harsa Sadawira itu mendadak tantrum.
Bukan tanpa alasan, Zeev yang sudah kehausan mengamuk pasca ASI sang ibu tidak juga keluar.
Ini sudah hampir sepuluh hari pasca melahirkan. Namun payudara Raisa belum lancar memproduksi ASI.
Kadang bisa pumping sampai penuh. Kadang tidak mendapatkan setetes pun air susu keluar.
Bik Inem dan Denara kerap membantunya dengan berbagai alternatif. Mulai dari makan daun katu hingga membeli suplemen pelancar ASI yang Raisa tahu harganya tidak murah.
Tapi sayang, usahanya bisa dibilang sia-sia. Hingga kini, Zeev masih harus bertahan dengan donor ASI yang selalu Arshad datangkan dari bank khusus.
Raisa berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit. Saat sendiri seperti ini, rasa sedihnya selalu saja datang.
Ia tiba-tiba memikirkan kehidupan Denara yang luar biasa menyenangkan sekarang. Kedua anak kembarnya tumbuh dengan baik dan cantik. Bahkan suaminya juga terlihat sayang keluarga.
Raisa pikir, Denara memang berhak mendapatkan ini semua. Apalagi setelah segala kepedihan yang perempuan itu lalui.
Hanya saja, Raisa tidak menyangka dulu wanita yang selalu dibanding-bandingkan dengannya, dianaktirikan, bahkan sering dituduh tidak punya masa depan justru hidup makmur.
Jujur Raisa iri, tapi kembali sadar bahwa dirinya pantas menerima balasan.
Tangan Raisa bergerak frustasi melepas alat pumping di payudaranya. Ingin sekali melempar alat itu karena sama sekali tidak berguna. Bahkan payudaranya hanya nyeri ketika menggunakannya.
Ceklek
Tubuhnya berjengit saat mendapati pintu kamar terbuka. Arshad muncul dari sana membuat Raisa mengernyit bingung. Padahal ini sudah pukul duabelas malam.
"Belum keluar juga?" Raisa menatap laki-laki itu datar sambil menggeleng. Jejak air matanya masih jelas terlihat.
"Kita coba pijat laktasi, siapa tahu membantu."
Apa? Raisa tidak salah dengar? Bisa-bisanya laki-laki itu menawari pijat laktasi. Apa otaknya sudah tidak waras!
Raisa tahu, pijat laktasi merupakan teknik untuk memperlancar ASI dengan memijat beberapa bagian tubuh tertentu, terutama payudara.
Bagaimana mungkin laki-laki itu menawarinya pijat laktasi!
"Enggak usah mesum! Jangan cari kesempatan dalam kesempitan."
"Ini enggak mesum, aku baca-baca artikel di internet katanya bisa memberikan hasil yang lebih optimal."
"Enggak, aku nggak mau. Mana boleh kamu pegang-pegang!" Tentu saja Raisa takut jika kejadian pelecehan itu akan kembali terjadi.
"Dengar dulu, aku bantu kamu pijat bagian belakang. Kamu fokus di bagian depan jadi siapa tahu hasilnya lebih baik."
Arshad tidak patah arang, laki-laki itu bahkan membuka hampir semua penjelasan di internet untuk membuktikan pada Raisa jika ia tidak akan macam-macam.
Lama-lama Raisa setuju. Perempuan itu melepas baju beserta bra-nya dengan posisi membelakangi Arshad.
Gerakan di kasur terasa saat laki-laki itu duduk. Hal yang membuat bulu kuduk Raisa berdiri semua.
Tangan Arshad sudah sampai di punggungnya dan memulai gerakan perlahan.
"Kalau sakit bilang ya," tidak ada jawaban, tapi Arshad tahu Raisa pasti melakukannya kalau merasa tidak nyaman.
Dari belakang, ia bisa melihat tangan Raisa tengah mengurut sebelah payudaranya. Gerakannya sangat teratur mulai dari bawah ke atas dan begitu seterusnya.
"Aduh sakit.." lirihnya lalu menghentikan gerakan.
"Yang belakang?" Tanya Arshad memastikan.
Raisa menggeleng, "enggak yang depan." Mendengar jawaban itu, Arshad segera melanjutkan tugasnya. Toh jika bagian depan yang sakit, dia juga tidak bisa berbuat apa-apa.
"Kamu jangan stress," ujar laki-laki itu tak kalah lirih supaya tidak mengganggu bayi mereka.
Raisa terlihat menghela napas sambil masih melakukan gerakannya.
"Gimana aku enggak stress, bebanku banyak. Hutangku juga masih dimana-mana. Aku enggak mungkin bisa hidup tenang selama masih dikejar-kejar tagihan." Ucapnya dengan nada frustasi.
"Semua hutang kamu udah lunas." Kata-kata yang baru saja terlontar dari mulut Arshad membuat tubuh perempuan itu menegak.
"Lu-Lunas?" Tanyanya sekali lagi mencoba memastikan.
Arshad mengangguk meski tidak dapat perempuan itu lihat. Mengingat posisinya masih menghadap ke tembok kamar.
"Semua tagihan yang masuk ke DM Instagram kamu sudah beres. Jadi nggak perlu dipikirkan lagi."
Raisa langsung berbalik ke arah Arshad berusaha mencari raut kebohongan di sana.
Hal tersebut tentu membuat Arshad salah tingkah. Bagaimana tidak, payudara Raisa terekspos jelas di depan matanya.
Ukurannya pun jauh lebih besar dari yang laki-laki itu ingat beberapa bulan lalu. Bukan bernafsu, Arshad hanya terkejut saja.
"Kamu enggak bohong?" Arshad menggeleng cepat berusaha menetralkan perasannya.
"Sudah aku lunasin, bahkan sebelum Zeev lahir. Sekarang kamu nggak perlu memikirkan soal hutang lagi." Ucapnya sambil menunduk.
"Bagaimana bisa? Itu nominalnya enggak kecil, Shad.."
"Iya aku tahu,"
"Terus, sekarang, aku jadi hutang ke kamu? Aku belum ada uang sepeserpun buat ganti..." Arshad bisa melihat wajah perempuan itu yang tulus mengatakannya, membuatnya sedikit iba.
"Udah santai.. Anggap aja itu permintaan maafku karena bikin kamu jadi seperti ini."
Dengan air mata yang kembali berlinang, Raisa segera menubruk tubuh Arshad dan memeluknya erat."Makasih ya... Aku enggak tahu harus bilang apa selain makasih."
"Aku takut banget sama ancaman mereka kalau saja aku nggak bisa bayar. Bahkan aku juga bayangin mungkin harus bekerja seumur hidup demi melunasi semuanya." Raisa masih terisak, Arshad bisa merasakan tubuh perempuan itu bergetar di pelukannya.
Setelah memastikan isakannya reda, Raisa kembali menegapkan tubuhnya. Dua orang yang kini tengah sibuk dengan pikirannya sendiri itu saling tatap.
Sampai keheningan terpecah saat Raisa membuka suara.
"Aku cuma punya tubuh ini... Sejak awal transaksi sampai sekarang, aku memang belum pernah kasih service terbaik."
"Jadi kalau memang nanti aku nggak bisa ganti uang, kamu boleh manfaatkan tubuhku sepuasnya."
Arshad mungkin menganggap Raisa hanya asal bicara. Tapi perempuan itu mengatakannya dari hati karena merasa terlalu banyak berhutang budi.
"Kamu bebas mau anggap aku apapun. Tapi kenyataannya aku dijual memang untuk itu. Kamu udah mengeluarkan banyak uang sementara aku tidak berbuat apapun."
"Ck, kamu ngomong apa sih!" Arshad beranjak mengambil baju Raisa di sisi ranjang lalu memakaikan dengan asal ke tubuh perempuan itu.
"Sepertinya pijatan kita berhasil, ASI kamu rembes itu. Ini juga basah di baju aku.." seru Arshad lalu meraih tisu untuk membersihkan bajunya sendiri.
Tak lupa ia juga menyerahkan beberapa lembar ke arah Raisa. Karena tak mungkin membantu perempuan itu membersihkan dadanya.
"Kamu istirahat, aku keluar.."
Setelah mengatakan itu, Arshad lenyap dari pintu. Sementara Raisa masih mematung sambil memegang erat lembaran tissue yang ia terima.
![](https://img.wattpad.com/cover/272462088-288-k976549.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Black & Grey
ChickLitRaisa tidak menyangka jika karmanya akan datang secepat ini. Setelah berhasil membujuk sang mama untuk menjual Denara, kini ia justru mengalami hal yang sama. Lebih tidak menyangka lagi, Arini-lah yang sengaja menjualnya. Padahal, bagi Raisa, Arini...