12

4K 386 18
                                    

Raisa membuka matanya pelan, merasa lebih segar setelah mendapatkan tidur yang cukup. Yah, meskipun semalam harus ada drama yang membuatnya malu sendiri.

Belum sempat mengumpulkan seluruh kesadaran, matanya langsung terbelalak ketika mendapati Arshad tidur di sampingnya. Dengan posisi tangan yang masih bertengger di permukaan perut perempuan itu.

Raisa sontak bergerak memeriksa semua anggota tubuh. Memastikan pakaiannya masih lengkap dan tidak berubah seperti ingatannya semalam. Tentu saja ia merasa takut jika laki-laki itu berbuat yang tidak-tidak.

Tapi sepertinya memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Toh, bisa saja Arshad ketiduran setelah membantu menenangkan janin aktif di perutnya. Raisa berusaha berpikir positif.

Tak ingin membiarkan kecanggungan kembali terjadi, apalagi jika laki-laki itu sampai terbangun, Raisa memilih turun dari tempat tidur.

Tangannya meraih kartu akses kamar dan langsung mencobanya.

"Wow, beneran terbuka." Ingin sekali teriak senang namun berusaha ia tahan supaya sang pemilik rumah tidak bangun.

Tujuan utama Raisa kali ini adalah dapur. Ia belum tahu dimana kamar bik Inem. Tapi sepertinya tidak jauh-jauh dari area tersebut.

"Loh, bibi di sini?" Belum menemukan ruang kamar ART, Raisa justru mendapati bik Inem di samping ruang makan.

"Non Raisa maaf ya, semalam bibi ketiduran. Sampai lupa tidak mengantar obat ke kamar." Wanita itu tampak panik sambil mencermati beberapa strip obat di tangannya.

"Udah bik, nggak usah saya sudah minum obat kok. Lagian katanya bik Inem sakit?"

"Ah, itu, saya sejak sore memang pusing. Tapi sudah biasa non, namanya juga faktor usia. Tapi ini non Raisa kenapa bisa keluar, bukannya kartu aksesnya masih di saya."

"Semalam Arshad kasih kartu, katanya boleh ambil makanan sama minuman sendiri di dapur, asal nggak macam-macam."

"Syukurlah kalau begitu, setidaknya ruang gerak non Raisa jadi lebih luas. Ya sudah non duduk dulu, biar saya siapkan sarapan."

"Aku mau dong bik ikut masak. Bibi mau masak apa? Kayanya sarapan nasi goreng enak deh."

"Waduh saya coba tanya mas Arshad dulu ya non, soalnya jadwal makan sudah ditentukan." Bik Inem berjalan pelan ke arah pintu yang ada di paling ujung.

"Loh bik Inem mau kemana?"

"Ke kamar mas Arshad bentar non, biasanya sudah bangun jam segini."

"Ah... itu bik, dia.." Rasanya sulit mengaku jika Arshad tidur di kamarnya. Takut nanti bik Inem akan berpikiran macam-macam.

Tapi sebelum menjelaskan lebih lanjut, laki-laki yang mereka maksud tiba-tiba muncul dari pintu kamar Raisa.

"Loh mas," dari raut wajah yang bik Inem tunjukkan jelas wanita itu terkejut. Sementara Arshad hanya menatap semua orang dengan ekspresi datar khas bangun tidur.

Bik Inem langsung menyadari jika tidak boleh mengusik privasi atasannya.

"Engh, bibi mau tanya hari ini kalau menu sarapannya diubah boleh? Non Raisa ngidam mau sarapan nasi goreng." Ujar bik Inem berusaha menyembunyikan raut terkejutnya.

Arshad menatap sekilas pada perempuan yang dimaksud. Tatapannya membuat Raisa langsung menunduk.

"Iya boleh," jawab laki-laki itu, lalu beranjak ke arah kamarnya sendiri.

"Boleh non, ayo segera kita masak." Ajak bik Inem semangat membuat Raisa tersenyum kecil.

"Tapi kenapa mas Arshad keluar dari kamar non Raisa?" Sepertinya bik Inem masih menahan rasa penasarannya dan baru berani mengutarakan pada Raisa di sela-sela kegiatan masak.

"Semalam dia antar obat ke kamar saya. Tapi sepertinya langsung ketiduran."

"Oalah, pantesan... Saya kira,"

Sebelum pembahasannya kemana-mana, Raisa sudah lebih dulu menyela.

"Jadi kalau kita mau makan memang harus menyesuaikan menu yang dia buat ya bik?"

"Sebenarnya kalau saya bebas non, toh mas Arshad juga jarang di rumah. Jadi hampir nggak pernah masak. Khusus untuk non Raisa memang menunya dari mas Arshad langsung."

"Kenapa harus begitu??" Perempuan itu benar-benar terkejut. Menurutnya, ini suatu hal yang aneh.

"Kurang tahu non, tapi mungkin menyesuaikan supaya asupannya baik untuk ibu juga bayinya. Jadi memang tidak boleh sembarangan."

Masa iya dia sepeduli itu?

..........

Tiba di kamarnya sendiri, Arshad sebenarnya ingin langsung tidur. Semalam ia benar-benar diajak lembur sang anak yang masih tetap bergerak meski ibunya sudah pulas.

Bukan pulas, Raisa terlihat sudah sangat kelelahan sehingga membiarkan bayinya bergerak sesuka hati. Sementara dia memilih tidur senyaman mungkin.

Arshad masih ingat bagaimana dia dengan intens mengusap permukaan perut perempuan itu secara hati-hati. Sesekali berbincang sangat pelan dengan janin aktif tersebut. Berharap Raisa tidak terbangun karena suaranya.

Hampir saja Arshad merebahkan tubuh di kasur luasnya, dering ponsel tiba-tiba berbunyi. Ia mendapat satu pesan masuk atas nama Djati.

Djati [07.00]

Kata Denara menu sarapan buat pagi ini omelet bayam, nasi merah, sama jus jeruk. Buahnya kasih apa aja boleh asal nggak asam.

Me [07:02]
Udah sarapan. Nasi goreng.


Baru beberapa detik pesannya centang dua, belum sampai berubah warna biru, Djati sudah mengubah komunikasi chat menjadi panggilan suara.

"Ada apa lagi? Gue ngantuk banget mau tidur."

"Menu sarapannya kenapa nggak nunggu dari istri gue dulu." Seru Djati membuat Arshad menghela napas pelan.

Selama tahu Raisa hamil, Arshad memang sengaja meminta daftar menu dari Denara. Ia minta dibuatkan list khusus mulai dari sarapan hingga makan malam. Lengkap dengan jenis buah dan cemilan yang harus disiapkan.

"Dia pengennya nasi goreng. Siapa tahu ngidam kan nggak salah diturutin."

"Tapi tetap dipastikan juga biar nggak kebanyakan minyak."

"Iya bawel banget! Lagian kenapa gue enggak dikasih nomor Denara aja. Biar gampang komunikasinya jadi enggak perlu ke lo."

"Enak aja! Dia nggak boleh chatan sama sembarang pria."

"Alay lo!" Seru Arshad mendadak mual mendengar sikap sok protective yang Djati tunjukkan. Ayah dua anak itu memang di luarnya saja garang, aslinya hatinya lemah.

"Ini masih ada yang mau dibicarakan enggak? Kalau udah selesai gue tutup, ngantuk banget semalam lembur."

"Bukannya dari jam delapan lo udah di rumah? Oh pasti lembur yang lain ya??" Jelas sekali nada suara Djati mengandung sindiran.

Arshad pun tahu kemana arah pembahasan yang Djati tuju, membuat laki-laki itu berdecak pelan.

"Pikiran lo nggak usah kemana-mana. Semalam cuma bantuin Raisa nenangin janinnya. Dia gerak terus, aktif banget. Sampai ngeri sendiri gue ngelihatnya. Takut tiba-tiba itu perut jebol karena saking kenceng tendangannya."

"Waduh calon ayah yang sangat siaga!"

"Sialan lo!" Kali ini Arshad benar-benar mematikan sambungan telepon. Melemparkan benda itu ke sisi kasur yang lain lalu berusaha mendapatkan kembali jam tidurnya yang sempat terganggu.

Black & GreyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang