Arshad membuka pintu pelan. Laki-laki itu baru sampai rumah pukul 12 malam. Tentu saja semua orang sudah terlelap.
Sebelumnya, ia sudah meminta pada bik Inem supaya tidak menanti kepulangannya. Toh, Arshad tahu jika wanita paruh baya itu telat istirahat akan mudah sakit kepala.
Setelah mencuci kaki dan tangan di toilet dekat dapur, Arshad segera menyeret koper ke kamar.
Ia berhenti sejenak menatap pintu kayu besar di depannya sedikit terbuka. Tatapannya mengintip ke dalam kamar dan mendapati perempuan yang sangat ia kenal tengah duduk sambil memangku sang anak.
Tapi ada yang berbeda, seingat Arshad, rambut Raisa panjang. Kini hanya tinggal sebahu.
Dengan posisi yang membelakangi pintu, tentu membuat Raisa tidak menyadari kehadiran laki-laki itu.
"Kamu potong rambut?" Meski sangat lirih, pertanyaan Arshad mampu membuat Raisa berjenggit.
"Kamu ngagetin!" Protesnya berusaha menetralkan jantung.
"Sambil ngelamun sih, dapat pertanyaan sepelan itu aja sampai kaget." Cibir Arshad lalu duduk di sampingnya.
"Potong rambut ke salon?" Ulang laki-laki itu karena tak kunjung mendapat jawaban. Kemudian Raisa menggeleng cepat.
"Tadi siang Lula yang bantuin, lumayan hasilnya bagus juga." Jelas ibu satu anak tersebut sambil mengusap-usap rambutnya pelan.
"Kenapa dipotong?"
"Gerah banget, lagian enggak terawat jadi mending dikurangi. Aneh banget ya?" Tanyanya mendadak tidak percaya diri.
"Enggak, bagus, kelihatan lebih fresh." Kali ini Arshad jujur.
Sejak awal Raisa memang cantik, tapi dengan gaya rambut barunya, wajah perempuan itu terlihat lebih bersinar. Bahkan aura keibuannya juga sangat terpancar.
Tak ingin kelihatan salah tingkah karena Arshad terus menatapnya, Raisa berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
"Aku baru tahu kamu punya adik."
"Oh, Lula, iya dia memang lama tinggal di London untuk kuliah,"
"Soal pindah kamar, aku minta maaf, sebelumnya dia enggak bilang kalau mau pulang. Kebetulan anaknya memang rese jadi maaf kalau kemarin kamu jadi kerepotan."
"Enggak dia baik kok, banyak bantuin jagain Zeev juga." Raisa berbicara kenyataan. Toh, Kalula memang tidak seburuk yang ia kira saat pertemuan pertama.
"Syukur deh kalau kalian sudah akrab." Ujar Arshad pelan sembari menoel-noel pipi sang anak.
"Jangan pegang-pegang, kamu belum mandi!" Seru Raisa.
"Aku udah mandi, tadi sebelum pulang mampir ke kantor dulu bersih-bersih. Udah cuci kaki sama tangan juga di kamar mandi depan."
Perempuan itu menatap cermat, guna memastikan laki-laki di depannya tidak berbohong.
"Kenapa kamu pangku terus? Memangnya enggak capek?"
"Capek tapi kalo diletakkan di box pasti bangun terus nangis."
"Sini biar gantian aku yang pangku, kamu istirahat sama."
Raisa menurut, ia menyerahkan Zeev ke pangkuan Arshad supaya kakinya bisa selonjoran sejenak.
Punggungnya juga sudah pegal-pegal mengingat sejak pukul sepuluh malam tadi, Zeev tidak mau tidur sendiri.
"Harusnya aku jangan di sini," celetuk Raisa sambil menatap langit-langit kamar.
"Kenapa?"
"Kamu jadi repot nanti mau tidur dimana?"
"Gampang, aku bisa tidur di ruang kerja atau kalau enggak di kamar atas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Black & Grey
ChickLitRaisa tidak menyangka jika karmanya akan datang secepat ini. Setelah berhasil membujuk sang mama untuk menjual Denara, kini ia justru mengalami hal yang sama. Lebih tidak menyangka lagi, Arini-lah yang sengaja menjualnya. Padahal, bagi Raisa, Arini...