Di sinilah Arshad sekarang, menatap lurus ke arah layar yang menunjukkan video hitam putih tak beraturan.
Pikirannya semakin tidak karuan, dadanya juga bergemuruh meski sejak tadi berusaha ia normalkan.
"Kondisi bayinya baik, tidak ada hal yang perlu Anda khawatirkan."
"Gerakannya juga cukup aktif sesuai dengan usia kandungannya yang hampir masuk trimester ketiga.
"Sayangnya, si janin belum mau menunjukkan jenis kelaminnya. Dari tadi masih ketutup sama kaki. Sepertinya ingin memberi kejutan."
Jelas dokter sambil membersihkan sisa gel yang menempel di permukaan perut Raisa. Sementara perempuan hamil itu masih belum sadarkan diri.
"Tapi kesehatan ibunya memang harus diperhatikan."
"Jika perlu, pastikan setiap hari ibu dalam kondisi tenang, tidak stres, atau tertekan."
"Apa kondisi seperti ini wajar?" Arshad berusaha mengutarakan rasa penasarannya.
"Sebenarnya tidak juga, kalau hanya kram perut biasa itu sangat wajar. Namun kalau sampai pingsan cukup jarang terjadi."
"Hanya saja tidak perlu cemas, secara keseluruhan kondisi ibunya tetap baik."
"Mungkin bisa sampai pingsan karna kondisi psikisnya juga terganggu."
Arshad menghela napas panjang lalu mengangguk tanda paham.
"Nanti biar perawat bantu memindahkan pasien ke ruang rawat. Kita perlu observasi selama semalam. Jika besok kondisinya sudah membaik bisa langsung pulang."
"Baik dok, terima kasih."
......
Raisa sudah kembali tertidur pasca beberapa jam lalu sempat sadar. Perawat membantunya pindah ke ruang biasa sekaligus makan dan minum obat.
Malam ini, Arshad yang akan menunggunya di sini. Tidak mungkin laki-laki itu meminta bantuan bik Inem, sementara ART-nya sedang dalam kondisi tidak fit.
Setelah selesai memeriksa pekerjaan di ponselnya, Arshad membaringkan diri di sofa berukuran sedang yang ada dalam ruang inap.
Ia baru ingat masih menyimpan smartphone Raisa yang tidak sengaja terbawa dari rumah.
Dengan cepat Arshad membuka, karena kebetulan tidak terkunci. Tampilan smartphone kelas mid-range itu masih sama seperti sejak pertama ia beli.
Tidak banyak yang berubah, kecuali keberadaan aplikasi jejaring sosial Instagram yang menarik atensi Arshad.
Perhatiannya langsung tertuju pada ikon DM yang penuh dengan pesan baru. Tanpa sungkan dan tidak berpikir ke privasi, laki-laki itu sontak membuka satu per satu pesan yang masuk.
Dari sanalah Arshad menjadi paham apa yang membebani pikiran Raisa, hingga kondisinya jadi seperti sekarang.
Arshad mulai berpikir, jika tagihan hutang perempuan itu se-menumpuk ini, lantas kemana perginya uang milyaran rupiah yang ia serahkan pada Arini.
Sepertinya tidak masuk akal jika anak dan ibu itu memiliki hutang menggunung. Padahal sudah menjual Denara juga.
Masa iya nggak lunas. Pikirnya
Arshad larut dalam kebingungan, meski sebenarnya ini tentu bukan urusannya.
Lamunannya buyar ketika ponsel di saku laki-laki itu berdering.
Djati's Calling
"Kenapa? Tumben jam segini telepon?"
"Lo dimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Black & Grey
ChickLitRaisa tidak menyangka jika karmanya akan datang secepat ini. Setelah berhasil membujuk sang mama untuk menjual Denara, kini ia justru mengalami hal yang sama. Lebih tidak menyangka lagi, Arini-lah yang sengaja menjualnya. Padahal, bagi Raisa, Arini...