Kelas Hazel dan Pierre hari ini terpantau sangat tenang dan kondusif. Satu persatu mata pelajaran bisa Hazel lewati dengan lancar. Sepertinya ia sudah dapat beradaptasi di jaman ini. Pun kini tiba saatnya untuk para siswa dan siswi disini mengisi amunisi mereka. Satu persatu siswa berhamburan keluar kelas dengan semangat yang membara. Mengingat tadi pagi perut Hazel tidak terisi makanan sedikitpun, ia merasakan perutnya sangat amat keroncongan dan perlu segera diisi.
Hazel melihat ke arah Pierre yang saat ini tengah merapikan buku dan alat tulisnya. Hazel tersenyum miring. Ini adalah saatnya menjemput rezeki, pikir Hazel. Dengan langkah perlahan Hazel menghampiri laki-laki keturunan Prancis itu.
"Ekheemm"
Pierre mendongak menjatuhkan atensi nya pada gadis yang sedang mondar mandir menatapnya seperti guru yang sedang menunggui muridnya mengerjakan soal. Lagi-lagi Pierre dibuat heran dengan perilaku Renjani, sosok gadis pendiam yang tak banyak bicara dan bahkan diketahui Pierre adalah gadis yang saat menatap seorang laki-laki saja malu, malah bertingkah seperti ini.
Selesai dengan kegiatan mondar-mandir nya itu, Hazel berdiri tepat di depan meja Pierre dengan kedua tangannya yang ia gunakan untuk menopang tubuhnya dengan sedikit gebrakan. Tentu saja hal itu membuat Pierre terkesiap.
Pierre menatap Hazel tajam, "Mau menagih janji?" Tanyanya, Hazel mengangguk mantap sambil tersenyum dan menaik turunkan alisnya. "Udah laper banget nih gue. Ayo beli makanan"
'Maap Ya Allah enggak maksud, tapi kapan lagi kan dapat traktiran dari Pahlawan awkwkwk,' batin Hazel
Dengan hembusan napas berat, Pierre menuruti saja permintaan Hazel. Dengan rasa malas dan terpaksa, Pierre akan mencoba bertahan sementara sampai janji yang dia iyakan sendiri selesai. Melihat Pierre beranjak dari meja dan berlalu melewati Hazel, Hazel tersenyum riang dan lantas mengikutinya dari belakang. Tak lupa ia pun memanggil kedua temannya----Tari dan Ruri.
Di lorong sekolah, mereka berempat berjalan bersamaan. Hazel, Tari, Ruri dan Pierre berjalan berdampingan. Tiga gadis yang tertawa terbahak-bahak dan satu lelaki bermuka datar yang berjalan tanpa ekspresi. Pemandangan seperti ini sangatlah langka. Dimana Pierre yang tidak pernah berjalan bersama perempuan, sekarang malah berjalan bersama tiga perempuan sekaligus. Banyak mata memandang aneh mereka berempat. Terutama pada Hazel dan Pierre.
"Renjani menjadi aneh saja ya setelah kejadian tempo lalu"
"Lihat itu, bagaimana bisa Pierre berjalan bersama seorang gadis"
"Pierre tampan sekali"
"Ruri seperti preman"
Kira-kira seperti itulah omongan siswa dan siswi yang melihat mereka berempat. Hazel mendengarnya tapi dia tidak peduli. Sampainya mereka di kantin sekolah, mereka berempat menghentikan langkahnya, dan Hazel nampak terdiam melihat suasana kantin sekolahnya di tahun 1956 ini. Jadul sekali, tidak ada bangku seperti kantin-kantin sekolah pada umumnya, hanya meja yang digunakan untuk meletakkan jajanan-jajanan, dan kursi untuk penjualnya duduk. Jajanannya pun juga sangat jadul.
"Beli saja apa yang kalian mau" celetuk Pierre. Mendengar itu Tari dan Ruri mengangguk antusias sambil tersenyum riang dan langsung berlari menghampiri penjual-penjual jajan disitu. Pierre menoleh kesamping kanan menatap Hazel yang masih terdiam sambil sedikit menganga.
"Kenapa diam? Katanya lapar, tidak beli?"
Hazel mengerjapkan matanya, ia menoleh pada Pierre. "Iya, ini masih bingung mau beli apa? Nggak ada yang jual nasi gitu?"
Pierre mendengus, "Kamu mau nasi?"
"Mari ikut saya". Pierre berjalan mendahului Hazel. Hazel pun mengikuti langkah Pierre. Karna Hazel berjalan sambil menunduk, ia sampai tidak tau kalau Pierre sudah berhenti. Jadilah Hazel menabrak punggung Pierre.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love at The Wrong Time || Pierre Andries Tendean
Historical Fiction[ON GOING] Hazel Adistira Wiratama Putri seorang Jenderal bintang empat bernama Ahmad Wiratama. Gadis penyuka bola berumur 17 tahun yang terlempar ke tahun 1956 dan masuk kedalam raga seorang gadis lemah lembut dan kalem keturunan Jawa. Disitulah a...