16 - Perihal Rasa

208 28 4
                                    

Hazel Pov

Keadaan perutku sekarang sudah tidak se nyeri kemarin. Bisa dibilang rasa nyerinya masih ada tapi tidak terlalu parah. Masih bisa digunakan untuk beraktivitas seperti biasanya. Hari ini ada jadwal olahraga di jam mata pelajaran terakhir.

Tidak seperti sekolah pada umumnya, yang dimana waktu mata pelajaran olahraga semua murid harus mengenakan seragam olahraga. Di zaman ini, belum ada yang namanya seragam sekolah apalagi seragam olahraga. Jadi, kita hanya menggunakan pakaian yang sudah kita kenakan sejak awal.

Aku menggerutu dalam diam, betapa tidak nyamannya menggunakan dress disaat seperti ini. Ditambah lagi aku sedang datang bulan. Sangat sangat tidak nyaman, bukan. Kali ini murid-murid kelasku sudah berada di lapangan voli. Sepertinya guru akan mengajarkan teknik bermain voli pada kami.

Tapi dugaanku salah, ternyata guru memberikan kebebasan pada kami untuk melakukan kegiatan apapun di jam mata pelajaran terakhir ini. Dengan syarat tidak boleh pulang duluan. Jika sampai ketahuan ada yang pulang duluan, guru akan memberikan hukuman. Bukan hanya pada yang melakukan tapi semua murid akan diberi hukuman.

Mendengar penjelasan guru, semua murid mengangguk paham tak terkecuali denganku. Setelah itu guru langsung meninggalkan kami. Hehe, aku sangat bersyukur. Setidaknya ketidak nyamanan ini akan berakhir sebentar lagi. Kini semua murid sudah melakukan kegiatan nya masing-masing, untuk yang perempuan sudah dipastikan kegiatan nya adalah mengobrol, termasuk aku.

Aku, Ruri dan Tari mendudukkan diri di kursi belakang lapangan voli ini. "Sudah tidak sakit perut kau, Ni?," Ruri mengatakan dengan raut muka khawatir persis seperti kemarin saat ia mau mengantarku ke uks. Tari memandangku dan Ruri bingung. Wajar saja sih kan dia tidak masuk kemarin.

Aku menggeleng pelan, "sudah nggak kok," Ruri mengangguk paham. "Memangnya Renjani kenapa Rur?," ucap Tari menimpali.

"Itu, kemarin pas mau pulang, tiba-tiba dia sakit perut sampai pucat sekali mukanya." Tari menanggapi jawaban Ruri dengan anggukan.

"Lo sendiri kenapa kemarin nggak masuk sekolah, Tar?."

Tari tersenyum kecut sembari menghadapkan diri padaku dan Ruri. Aku dan Ruri saling menatap sejenak dan kembali mengalihkan padangan pada Tari.

"Kemarin aku diminta untuk tidak masuk sekolah dulu karna akan ada yang datang ke rumahku," bisa kulihat raut wajah Tari yang menekuk setelah mengatakan hal itu. "Sepertinya aku dijodohkan," mataku membulat sempurna. Dijodohkan katanya.

"Yang betul kau, Tar? Sama siapa? Tampan tidak? Kaya tidak? Perjaka atau duda?," pertanyaan bertubi-tubi dari Ruri sungguh membuatku geli sendiri. Ingin tertawa, tapi disisi lain aku juga kasian jika Tari memang benar-benar mau dijodohkan.

"Dia anak juragan beras, Rur. Tidak terlalu tampan. Aku sudah berulangkali menolak untuk dijodohkan, tapi ibuku memaksa. Padahal tau sendiri, aku pun belum lulus sekolah."

Aku menatap Tari sendu. Ku tepuk bahu nya seraya mencoba untuk memberi ketenangan padanya. "Tenang aja, Tar. Ntar lo omongin lagi deh baik-baik ke ibu lo. Bilang kalo lo nggak pengen dijodohin, belum siap nikah. Mau lanjut sekolah ke perguruan tinggi dulu atau mau kerja dulu. Gue yakin kok, ibu lo pasti ngerti."

"Benar itu. Kau coba saja dulu mengobrol berdua. Siapa tau ibumu berubah pikiran kan."

Tari menghela napasnya berat. Ia tersenyum miris dan akhirnya mengangguk pelan.

Beberapa detik kemudian, netraku tidak sengaja jatuh pada lelaki yang sedang duduk diatas bola voli. Nampak sangat jelas jika ia tengah memperhatikan diriku di seberang sana. Lelaki yang sudah membuatku  sangat kesal sekaligus tertawa karna kelakuan nya kemarin. Pierre, dia terus menatapku dengan tatapan tajam nan anehnya itu. Bahkan kawannya si Siswono tidak sekalipun ia hiraukan. Kasihan Siswono.

Love at The Wrong Time || Pierre Andries Tendean Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang