Setelah hampir setengah jam lebih menunggu Hazel yang mengobrol dengan Sandjaya, akhirnya kali ini Pierre pulang bersama dengan Hazel. Karna jarak rumah Hazel yang lumayan dekat dari sekolah, Hazel meminta Pierre untuk mendorong saja motornya. Jadi mereka berjalan kaki berdua.
Sesampainya di depan rumah Renjani, terlihat ibu Renjani tengah menyapu halaman rumah. Dengan pakaian kebaya sederhana ala jaman dulu dan kain jarik sebagai bawahannya, wanita paruh baya dengan rambut sanggul itu menoleh ke arah kedatangan mereka berdua. Tatapan sedikit terkejut tercipta di wajah Mirah. Baru kali ini Mirah melihat putri semata wayangnya itu pulang bersama dengan laki-laki. Terlebih lagi, laki-laki itu terlihat sangat tampan karna wajah ke bule an nya.
Lantas Mirah pun tersenyum hangat. "Sudah pulang nduk?," ujarnya. "Sudah buk," jawab Hazel singkat seraya menerima uluran dan mencium tangan Mirah.
Mirah melirik sekilas ke arah Pierre yang tersenyum tipis ke arahnya. "Siapa nduk? Temannya?," tanya Mirah kembali menatap Hazel. Hazel mengangguk mengiyakan. "Iya, buk. Ini teman sekelas Jani. Namanya Pierre."
Pierre pun salim pada Mirah. "Tampan sekali kamu. Baru kali ini Renjani membawa teman laki-lakinya ke rumah. Kamu sudah makan, le?," tanya Mirah lembut sambil mengusap kepala Pierre. Pierre tersenyum tulus menanggapinya. "Belum, ibu," jawabnya.
"Baiklah, ayo masuk. Mari makan dulu. Renjani ganti baju dulu ya."
Kini Hazel, Mirah dan Pierre sudah berada di meja makan. Mereka hanya makan bertiga karena ayah Renjani belum pulang dari bekerja. Hazel sudah makan duluan karna ia memang sudah sangat lapar sejak sepulang sekolah tadi. Sedangkan Pierre, ia malah sibuk memperhatikan Hazel yang makan seperti orang tidak makan tiga hari itu. Mirah tersenyum sekilas ketika melihat laki-laki yang dibawa putrinya itu tengah menatap Hazel dengan tatapan yang sulit di artikan.
"Nak Pir ini rumahnya dimana, le?," tanya Mirah membuka suara. Hazel terkekeh menahan tawa mendengar ibunya menyebut nama Pierre dengan sebutan Pir. Pierre menoleh dan tersenyum kikuk. "Saya tinggal di Jl. Imam Bonjol No. 172."
Mendengar jawaban itu, Mirah seperti mengingat-ingat sesuatu. Beberapa detik kemudian, Mirah sedikit tersentak dan membulatkan bola matanya. "Jangan bilang rumah kamu adalah rumah yang paling besar di sepanjang jalan Poncol?," tanya Mirah dengan mata yang masih membulat. Pierre tersenyum sungkan dan setelah itu mengangguk tanda mengiyakan.
Mulut Mirah menganga. Ia tak menyangka putrinya ini membawa seorang laki-laki yang diketahuinya adalah anak dari keluarga terpandang di Semarang. Renjani diam-diam begini mantap juga memilih pria, pikirnya.
"Baiklah, jadi apa tujuan kamu kesini, Pir? Hanya mengantar Renjani?."
"Pi-Yer ibuk, bukan Pir," ralat Hazel pada ibunya. Mirah hanya ter manggut-manggut dan terkekeh pelan.
Sekilas Pierre menatap Hazel, pandangannya seperti mengatakan 'apakah sekarang waktunya untuk memintakan izin?'. Melihat tatapan itu, Hazel mengedipkan kedua matanya tanda menyetujui.
Pierre berdehem, "benar ibu, saya mengantarkan Renjani sekalian ingin memintakan izin untuk mengajak Renjani pergi ke Gunung Ungaran besok. Dan akan turun pada minggu pagi. Ini merupakan acara darmawisata dari kelas kita, jadi nanti ada beberapa teman juga yang ikut."
"Gunung Ungaran? Kalian mau mendaki?."
Pierre mengangguk. Mirah menatap sekilas pada putrinya. "Hmm, begini. Baru kali ini Renjani membawa pulang seorang teman laki-laki. Dan baru kali ini juga, ia diajak pergi. Mungkin ini saat yang bagus untuk dia mulai membuka diri kembali. Jadi, iyo, ibu izinkan," jawab Mirah sambil kembali menatap Pierre lembut. Pierre dan Hazel tersenyum riang. Akhirnya diberi izin juga, pikir Hazel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love at The Wrong Time || Pierre Andries Tendean
Ficción histórica[ON GOING] Hazel Adistira Wiratama Putri seorang Jenderal bintang empat bernama Ahmad Wiratama. Gadis penyuka bola berumur 17 tahun yang terlempar ke tahun 1956 dan masuk kedalam raga seorang gadis lemah lembut dan kalem keturunan Jawa. Disitulah a...