15 - Rebutan

231 31 5
                                    

"Bagaimana wajah asli kamu?."
"Dan semuanya --- ."
"Tentang kamu."

Kelopak mata Hazel menaik setelah mendengarkan ucapan Pierre barusan. "Lo mau tau banget apa mau tau ajaaa?," ujarnya sambil menaik turunkan sebelah alisnya. Pierre memutar bola matanya jengah. Mulai lagi gadis ini menggodanya. "Tidak jadi lah," Pierre mengalihkan pandangannya ke samping. Kepala Hazel mengikuti kemana arah pandang lelaki ini, ia melihat bibir tipis Pierre mengerucut disana. Terlihat sangat lucu.

Hazel terkekeh gemas, "ihh, gitu aja ngambek. Iya-iya gue kasih tau."

Sebelum Hazel memberitahu bagaimana wajah aslinya, ia pun menceritakan dahulu semua tentang dirinya mulai dari tahun berapa dia lahir, berapa umurnya, pekerjaan orang tuanya, dimana ia sekolah, kesehariannya, dan lain-lain.

Yang tentu saja dari beberapa hal yang sudah diceritakan Hazel itu, ada yang membuat Pierre terkejut sampai terkagum. Seperti halnya saat Hazel memberitahu jika ayahnya adalah seorang Jenderal bintang empat. Mata Pierre langsung berbinar saat itu juga. Pantas saja perilaku Hazel tampak tak seperti gadis biasa pada umumnya, apakah itu hasil dari didikan dari ayahnya? Hmm, bisa jadi.

"Jadi, kamu juga sekolah disini?."

"Iya, tapi gue jurusan IPS. Kelas gue di gedung sebelah. Bangunan sekolah ini juga nggak banyak yang berubah loh, cuma spot-spot tertentu aja yang mungkin sedikit direnovasi biar jadi lebih bagus. Terus tempat ini juga cuma lahan kosong di jaman gue, Yer. Kursi ini kaga ada. Benar-benar cuma kaya tanah kosong yang kaga ada gunanya." ungkapnya sambil tertawa.

"Namanya juga udah bukan SMA/B lagi, tapi SMAN 1 Semarang," Pierre mengangguk-anggukkan kepalanya paham. Mungkin, dari penjelasan-penjelasan Hazel ini, Pierre akan mulai mempercayai gadis ini sepenuhnya.

"Nah, lo mau tau kan wajah asli gue kaya gimana?," Hazel mengehentikan ucapannya sejenak, "Ya ini," lanjutnya sambil menunjuk wajahnya. Pierre mengerutkan kedua alisnya bingung. Bagaimana bisa dia menunjuk wajah Renjani, sedangkan tempo lalu dia bilang kalau dia bukanlah Renjani. Hanya sebuah jiwa dari masa depan yang masuk ke raga teman sekelasnya ini.

"Bingung kan lo? Sama gue juga. Mana persis banget lagi plek ketiplek. Bedanya cuma di rambut doang. Aneh kan?,"

Pierre ter manggut-manggut menanggapi itu. "Aneh, bisa begitu ya?." Hazel hanya mengedikkan bahu tanda dia sendiri juga heran. Dibalik pembicaraan ini, Hazel merasa sangat senang sekali. Menurutnya, bisa dekat dan mengobrol banyak dengan Kapten Tendean seperti ini adalah sebuah kehormatan tersendiri untuk Hazel.

Hari ini suasana hati Hazel menjadi terasa aneh. Kadang bersemangat sekali, namun tiba-tiba sangat muak dengan semuanya. Seperti saat ini, di mata pelajaran terakhir, Hazel merasa sangat ingin marah sekali. Bahkan Ruri yang sedari tadi memanggil dirinya berniat ingin meminjam penghapus padanya pun ia semprot, sampai seisi kelas kaget dan menoleh ke arahnya. Tak terkecuali guru yang sedang menerangkan dan Pierre. Untung saja Hazel tidak disuruh berdiri di depan kelas.

Ditambah lagi dengan perutnya juga terasa sedikit nyeri. Saat jam istirahat tadi, Hazel memang tidak membeli makanan apapun. Karna tau sendiri kan, ia mengobrol banyak dengan Pierre tadi sampai jam istirahat selesai.

Hazel meringis sambil meremas perut bagian bawahnya dengan sebelah tangannya. Beberapa detik kemudian ia tersadar, rasa sakitnya tidak biasa seperti ... nyeri datang bulan. Hazel pun mengumpat dalam diam. 'Kaya nya mau mens nih gue, njirlah. Mana kaga bawa roti lagi,' batinnya.

Karna sudah tidak tahan dengan rasa sakit yang amat, Hazel pun memutuskan untuk meminta izin ke uks saja. Melihat raut pucat pasi Hazel, akhirnya guru pun mengizinkan. Mumpung ia belum merasakan darahnya keluar juga kan. Kalau sudah keluar kan bisa gawat.

Love at The Wrong Time || Pierre Andries Tendean Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang