Sejak dari pasar tempo hari lalu, Tari yang memang berkepribadian pendiam menjadi semakin pendiam. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Dia bahkan mendiami kedua sahabatnya. Sudah beberapa kali Hazel dan Ruri mengajaknya berbicara, tapi tetap saja, Tari hanya menanggapi dengan anggukan bahkan deheman.
Hal itu tentu saja membuat Hazel dan Ruri sangat bingung, karena tidak biasanya Tari seperti ini. Meskipun pendiam, Tari masih terbilang banyak bicara. Terlebih lagi jika bersama kedua sahabatnya.
Hazel menghembuskan napas ringan. Ia memandang lelah ke arah Tari yang kini sedang termenung sambil mencoret-coret kan pensil ke bukunya. Begitupun dengan Ruri, dia duduk bersendekap dada menatap Tari yang berada di depannya itu dengan wajah datarnya.
"Kalau kau ada masalah, bicara jangan diam!," celetuk Ruri dengan nada yang tinggi. Emosi Ruri kini benar-benar memuncak akibat sikap Tari akhir-akhir ini. Lantas Hazel menoleh pada Ruri dengan tatapan sedikit terkejut. "Sabar jirr," ujar Hazel.
Ruri hanya memutar bola matanya jengah. Hazel kembali menatap Tari. Dilihatnya Tari kian menunduk, dan tak lama ia langsung bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar kelas tanpa memperdulikan kedua sahabatnya yang tengah menatap dirinya tak mengerti.
"Dasar, anak aneh. Biarkan saja dia!," geram Ruri, sedangkan Hazel hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menepuk-nepuk pundak Ruri.
•••
Disinilah sekarang Tari berada. Di kursi panjang belakang lapangan voli. Tempat duduk favorit tiga sekawan ini. Dia duduk sendirian dengan tatapan kosongnya. Sebenarnya Tari sendiripun tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi padanya. Bukannya sengaja Tari menjauhi kedua sahabatnya itu, namun semuanya seolah bergerak dengan sendirinya. Dan terjadi begitu saja.
Tari sangat ingin bercerita, tapi dirinya juga masih belum sepenuhnya yakin dengan apa yang kini sedang ia rasakan. Apa ini semua gara-gara kejadian di pasar tempo hari lalu? Iya. Tepatnya saat tak sengaja ia bertabrakan dengan Sandjaya.
Hati Tari seolah menghangat melihat senyuman si pria mata sipit itu. Jantungnya berdetak berkali-kali lebih cepat saat pria itu menatap matanya. Tari memang sudah mengetahui Sandjaya dari lama. Namun entah mengapa, kejadian kemarin membuat hatinya yang semula gersang, berubah menjadi seperti taman yang ditumbuhi banyak bunga. Hari itu juga ia menyadari, betapa menawannya Sandjaya.
Jadi, apakah Tari jatuh hati?
Iya, Benar.
Tatapan kosongnya memudar tatkala ada seorang yang tiba-tiba datang menepuk pundaknya. Ditolehnya ke belakang, ternyata Pierre lah gerangan yang membuatnya tersadar dari lamunan. "Tari, sedang apa kamu disini sendirian? Dimana kedua temanmu?," tanya Pierre tanpa ekspresi sambil matanya menelisik kesana kemari. Tari langsung mengalihkan pandangannya ke depan. Dan kemudian disusul Pierre yang mendudukkan dirinya di sebelah Tari.
Kedua alis tebal Pierre menaut ketika melihat sikap Tari yang aneh hari ini. Tari begitu diam dan tumben sekali keluar kelas dan duduk disini sendirian. Setau Pierre, kemanapun Tari pergi, pasti ada Ruri atau Renjani yang menemaninya. Apakah terjadi sesuatu dengan mereka bertiga? Pikir Pierre.
"Pierre, apa kamu pernah jatuh hati?,"
Pierre tersentak, kenapa tiba-tiba Tari menanyakan pertanyaan seperti itu?
Pierre beredehem, "sejujurnya ... tidak pernah kecuali pada mami dan kedua saudara saya," mendengar jawaban Pierre, Tari langsung menoleh ke arah pria bule ini seraya menunggu kelanjutannya. Pierre menatap kedepan, "tapi ... sepertinya sekarang saya sedang mengalami itu," kedua ujung bibir Pierre terangkat ke atas saat kata-kata itu keluar dari mulutnya. Tari yang melihat itu, membulatkan kedua matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love at The Wrong Time || Pierre Andries Tendean
Tiểu thuyết Lịch sử[ON GOING] Hazel Adistira Wiratama Putri seorang Jenderal bintang empat bernama Ahmad Wiratama. Gadis penyuka bola berumur 17 tahun yang terlempar ke tahun 1956 dan masuk kedalam raga seorang gadis lemah lembut dan kalem keturunan Jawa. Disitulah a...