17 - Disuruh Memilih

212 30 7
                                    

Maaf baru update lagi. Rasanya seret banget mau nerusin cerita, lapaknya sepi pisan:")) tapi kalo nggak di tamatin, sayang.

Mungkin alurnya bakal aku cepetin nanti, biar bisa buat cerita baru. Terimakasih buat yang udah selalu nungguin, vote dan komen cerita ini. Selamat membaca💜

.
.
.

Kelopak mataku menurun setelah mendengarkan pernyataan Sandra kepada Pierre. Aku terdiam sejenak, tidak mau mendengar jawaban Pierre mengenai perasaan Sandra padanya, aku pun langsung melangkah meninggalkan uks berniat kembali ke kelas untuk mengambil tas dan langsung bergegas pulang.

Sebenernya aku penasaran dengan jawaban laki-laki itu, tapi ... mungkin akan lebih baik jika aku tidak mengetahui nya. Malah jadi rumit nanti kalo ternyata Pierre menjawab dia juga menyukai Sandra. Aku kan belum siap untuk itu. Walaupun perasaan ku pun masih terbilang abu-abu, pun aku belum tau apakah aku benar-benar menyukai Pierre, atau perasaan ini hanya rasa kagum semata.

Di tengah perjalanan aku bertemu dengan Sandjaya. Dia berlari menghampiri diriku. "Renjani, bagaimana keadaan Pierre?," aku menghentikan langkahku dan menatapnya lesu. Dengan helaan nafas ringan aku menjawab, "dia baik-baik aja." Sebelum membalas jawabanku, kulihat netra Sandjaya langsung tertuju ke bawah.

"Itu, kaki mu berdarah, Ni. Kok tidak sekalian kamu obati? Ayo ke uks lagi, aku obati lukamu," tunjuknya.

Reflek aku juga langsung melihat ke bawah. Dan benar saja, bagaimana bisa aku sampai lupa dengan luka ku sendiri. Lihat, darahnya bahkan sampai mengalir ke bawah dan mengering. Aku tersenyum samar dan kembali menatap Sandjaya.

"Nggak usah, gue mau pulang. Biar di obati sama ibu aja di rumah. Lo kalo mau nemuin Pierre, ke uks aja. Gue duluan ya." Setelah mengatakan ini, aku langsung berlalu dan meninggalkan Sandjaya.

Aku langsung keluar kelas sambil menenteng tas model selempang ini di bahu kanan ku. Belum sampai melewati pintu, Pierre tiba-tiba sudah berada disana. Ia berdiri menatapku sambil tangannya menenteng obat merah dan kasa.

"Mau pulang?," Pierre mengatakan itu dengan nada yang sangat pelan dan terkesan lembut di telingaku. Aku menanggapi pertanyaan nya hanya dengan anggukan. "Jangan pulang dulu, biar saya obati dulu luka kamu, Hazel," lanjutnya.

Lihat bagaimana dia memperlakukan diriku. Bagaimana bisa aku tidak jatuh cinta dengannya jika caranya begini. Coba kalau kalian di posisi ku. Pasti kalian juga merasakan hal yang sama denganku. Hatiku semakin dibuat tidak karuan saat dia menyebut namaku, sungguh jangan seperti ini, Pierre.

Belum sempat aku menjawab ucapannya, aku melihat dari kejauhan, Aleksandra berjalan cepat menghampiri kami. Kata-katanya waktu di uks tadi langsung berputar kembali di kepalaku, membuat rasa sesak yang tadinya sudah mereda muncul kembali.

"Nggak usah, Yer. Gue obati dirumah aja. Duluan ya."

Setelah mengatakan itu, aku langsung berjalan cepat dan berlalu dari Pierre tanpa menunggu apa jawabannya. Aku sempat menghentikan langkahku  dan menatap Sandra sesaat. Tatapan kami berdua sempat beradu beberapa detik. Sebelum akhirnya aku langsung kembali melangkah pergi meninggalkan mereka.

•••

Sore hari dirumah aku gunakan untuk membantu ibuku. Setelah mengobati luka di lutut ku, aku memutuskan untuk menyapu pelataran rumah dengan sapu lidi tanpa gagang. Bisa dibilang halaman rumah Renjani ini sangat luas, bahkan belum dapat setengah halaman aku menyapu, rasanya punggungku seperti remuk berkeping-keping karna kelamaan membungkuk. Capek banget, asli.

Sesaat kemudian, indera pendengaranku tak sengaja menangkap suara motor. Aku langsung menegakkan tubuhku dan menoleh ke arah sumber suara. Mataku melebar dan dadaku berdebar lagi. Disana, terdapat laki-laki yang sudah membuatku merasakan banyak kupu-kupu di perutku, dan membuatku menjadi galau tidak jelas seperti anak alay, siapa lagi jika bukan --- Pierre.

Love at The Wrong Time || Pierre Andries Tendean Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang