Saat ini Hazel masih berada di sekolah karna ada jadwal esktarkurikuler futsal. Hazel masih terduduk di kursinya sambil memikirkan sikap Tari padanya. Kali ini sikap sahabatnya itu benar-benar semakin membuatnya bingung. Seperti saat Tari memberikan sebuah kotak berpita padanya. Ia memberikannya tanpa memandang ke arah Hazel. Saat Hazel bertanya dari siapa kotak itu pun, Tari tidak menjawab sama sekali.
"Kau tidak pulang?," tanya Pierre yang memasuki kelas dengan menenteng bola basket. Hazel menoleh kearahnya dan menggeleng. "Nggak, gue ada futsal."
"Oh iya, Yer. Sini deh gue mau ngomong."
Pierre yang baru saja mendudukkan diri di kursinya, menghembuskan nafas singkat dan bangkit lagi untuk menghampiri Hazel. Pierre duduk di depan Hazel.
"Apa?."
"Tadi gue liat lo lagi ngobrol sama Tari," Hazel menatap lekat mata Pierre. "Ngomongin apa?," semoga kali ini Pierre mau memberitahunya tentang apa saja yang sudah mereka berdua bicarakan.
Pierre terlihat gusar menanggapi pertanyaan dari Hazel. Pasalnya dirinya sendiri sudah berjanji untuk tidak membocorkan hal tadi pada siapapun. Tapi jika disembunyikan seperti ini, dirinya pun tak tahu harus memberitahu Hazel seperti apa.
"Kok malah diem!?," ujar Hazel menelisik.
Pierre terkesiap, "itu ... anu ... shh ... kita hanya membicarakan hal biasa," mendengar itu Hazel merasa ada sesuatu yang sedang Pierre tutupi. "Hal biasa apa?,"
"Apakah kalian sedang bertengkar?," tanya Pierre cepat, sembari mencoba mengalihkan pembicaraan. Dilihatnya Hazel langsung terlihat lesu setelah ia bertanya seperti itu.
Hazel menggeleng pelan, "nggak tau,"
"Udah beberapa hari ini, Tari jaga jarak banget ke gue. Gue bingung dan nggak tau harus gimana. Setiap gue tanya, dia nggak pernah mau jawab. Tadi aja dia tiba-tiba ngasih sebuah kotak ke gue, pas gue tanya dari siapa, dia diem aja. Natap gue aja nggak mau." Lanjut Hazel dengan nada lesunya.
Sebenarnya Pierre tidak suka melihat Hazel yang seperti ini. Jadi mau tidak mau kali ini Pierre akan memberitahunya saja. Untuk kali ini saja Pierre mengingkari janji. Toh juga ini untuk kebaikan mereka.
Dengan satu hembusan napas, Pierre membuka suara. "Sebenarnya ... Tari hanya sedang bingung dengan pikiran dan perasaannya sendiri." Hal itu membuat Hazel menatap Pierre dengan penuh tanya. "Maksudnya?," Pierre menghadap ke samping dan menatap ke arah luar jendela. "Sepertinya dia jatuh hati." ungkap Pierre datar.
Mata Hazel membulat.
Pierre kembali menoleh pada Hazel, "Dia menyukai Sandjaya, Hazel." Reflek mulut Hazel terbuka sangat lebar. Ia sungguh tak menyangka jika selama ini Tari menaruh hati pada Sandjaya. Lantas, kenapa Tari tidak pernah bercerita apa-apa padanya dan Ruri?
"Sumpah lo!,"
"Sumpah!," jawab Pierre dengan mengacungkan dua jarinya.
Hazel menepuk dahinya sendiri. Hazel merasa bodoh sekarang. Kenapa dia tak menyadari sedikitpun tentang ini. Sedetik kemudian, terlintas sesuatu di kepala Hazel. Tentang, kenapa Tari mendiami dirinya beberapa hari ini semenjak mereka dari pasar tempo lalu.
Hazel berpikir, pasti Tari cemburu padanya. Iya, Hazel yakin itu. Pasalnya, Hazel pun paham dengan apa yang selama ini sudah dilakukan Sandjaya padanya. Laki-laki bermata sipit itu memberikan perhatian lebih pada Hazel. Dan Tari sendiri pun melihat itu semua.
Hazel menghembuskan napas berat. Hal itu membuat Pierre mengernyitkan dahinya. "Kamu tidak apa-apa?," tanyanya. Hazel hanya mengangguk sebagai jawabannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love at The Wrong Time || Pierre Andries Tendean
Fiksi Sejarah[ON GOING] Hazel Adistira Wiratama Putri seorang Jenderal bintang empat bernama Ahmad Wiratama. Gadis penyuka bola berumur 17 tahun yang terlempar ke tahun 1956 dan masuk kedalam raga seorang gadis lemah lembut dan kalem keturunan Jawa. Disitulah a...