05 : not alone

1.1K 79 0
                                    

"Hari ini ceritanya sedikit lebih panjang ya?"

"Ya, pak Liandra, saya memiliki banyak teman di sekitar saya yang membuat saya harus menulis lebih banyak untuk menceritakannya."

"Teruskan." Lelaki dengan jas putih dan kacamata yang bertengger di hidungnya itu mengulum senyum dan meletakkan kembali sebuah kertas dengan tulisan tangan di mejanya, "Akan lebih baik jika cerita-cerita menarik ini bisa membawa anda untuk menciptakan sebuah karya."

Sosok seumurannya yang duduk di kursi pasien itu terkekeh, "Akan saya pikirkan dan pertimbangkan."

"Kalau begitu, konsultasi hari ini saya izin akhiri ya. Sudah banyak kemajuan, dan saya berharap saya tidak perlu menerima anda sebagai pasien lagi di masa depan."

Lelaki yang tak lain adalah Liandra Naraka itu bangkit dari posisi duduknya seraya melepas kacamatanya dan menyalami sosok didepannya.

"Terima kasih Pak."

Sang lawan bicara, lelaki dengan hoodie abu tua itu tersenyum tipis dan bangkit untuk keluar dari ruangan psikologi tersebut.

Selang beberapa detik setelah keluar, pintu ruangan milik Liandra kembali dibuka, Ia mendapati sosok yang sama seperti yang baru saja hadir sebagai pasiennya tadi.

"Mau ikut gak lo?"

Liandra mendengus dan menahan tawanya, "Wah, anda sangat profesional sekali ya pak Haidan Azzarren."

"Kenapa masalahnya? Gue bukan pasien sekarang, dan Lo juga bukan psikolog gue."

"Yayaya, kemana?"

"Galeri, Sangga mau kesana."

"Yang lain?"

"Yang lain mah kerja ege, kan cuma si Sangga yang selalu free lahir batin."

Mendengar itu Liandra mengangguk paham,  benar juga, kan hanya Sangga yang anak tunggal kaya raya dan bebas dari beban.

"Duluan aja, nanti gue nyusul, gue masih ada satu pasien setelah ini."

Arren mengangguk, Ia kembali menutup pintu setelah melambaikan tangannya. Namun dua detik kemudian kembali membukanya lagi.

Liandra menghela nafas, sepertinya hari ini mereka bertukar kepribadian. Liandra si paling sabar, dan Arren si biang onar.

Tapi kenapa saat dirinya yang menjadi biang onar aka anak tantrum di tongkrongan, dia tidak merasa lelah. Kenapa jika yang menjadi orang dan menghadapinya malah sangat menguras tenaga? Apa dia kena karma?

Sepertinya lain kali harus berbaik hati dengan Malven dan Arren yang selalu sabar menghadapi tingkahnya. Tapi lain kali saja jika ingin menambah pahala.

"Apa lagi sat?"

Arren tersenyum tanpa dosa, "Eh gak boleh bicara kasar sama pasien, anda mau saya laporkan ke atasan anda?"

Lelaki dengan kulit tan itu menghela nafas dan memaksakan senyumnya, "Tadi katanya lo bukan pasien gue?"

Arren balik tersenyum, "Oh iya, Malven mana?"

"Libur hari ini."

"Kalo Jendral?"

"Di ruangan bundanya."

"Oke." Arren mengangguk paham, "Sean?"

"Tidur di apartemennya."

"Ngapain? Makan gaji buta tuh CEO?"

"Katanya sakit perut." Liandra mengangkat kedua bahunya acuh, "Lagian dia walaupun makan gaji buta juga nggak akan dipecat."

Arren mengangguk pelan, iya juga, tapi memang dokter bisa sakit juga ya?

From Home [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang