33 : Sean, it will be okay.

622 61 8
                                    

"Semuanya udah siap Sen, gue udah hubungin rumah sakit di Jerman dan dokternya, saat ini mereka udah siap handle perawatan kakek lo. Nanti gue kirim dokumennya lewat e-mail. Kalau siap, pimpinan juga udah bisa berangkat dua minggu lagi."

Sean duduk di balkon lantai dua kamarnya, lelaki itu teringat mengenai percakapannya dengan Malven di rumah sakit tadi siang mengenai tindakan perawatan intensif untuk sang kakek.

Mengenai kabar baik yang membuatnya lega namun sekaligus masih meninggalkan rasa takut dan cemas seperti sebelumnya itu sungguh membuatnya tidak bisa tidur.

Perawatan yang diusulkan Malven memang sangat bagus, namun bukan berarti tidak memiliki resiko sedikitpun, apalagi mengingat umur kakeknya dan daya tubuhnya yang sudah menurun serta penyakit yang dideritanya itu. Sean hanya takut, takut bahwa mereka tidak akan berhasil dengan hal ini. Takut bahwa dia akan membuat pilihan yang salah.

Sean menghela nafas lagi, meletakkan botol alkohol mahal simpanannya yang dia sudah di tenggak setengah itu, lalu berdiri dan beranjak untuk turun dari kamarnya.

Karena sudah hampir jam sepuluh malam, rumah megah itu sudah tampak senyap hingga Ia bisa mendengar suara gema pada langkahnya sendiri. Sean membawa kakinya melangkah menuju kamar utama dengan pintu bercat cokelat di rumah tersebut.

Lelaki berkulit putih itu tak mengetuk, melihat lampu yang sudah temaram mengartikan bahwa pemilik kamar mungkin sudah tidur. Sean memutar kenop pintu dengan pelan lalu tersenyum tipis melihat sang kakek–orang tua satu-satunya itu terlelap dengan damai di tempatnya.

"Semoga kakek bisa bertahan sama Sean lebih lama." Lelaki itu lagi-lagi hanya bisa menghela nafas untuk menetralisir sedikit bebannya, "Sean bener-bener belum bisa tanpa kakek." Monolognya pelan sebelum kembali menutup pintu.

Tangannya kemudian merogoh ponsel yang sengaja Ia bawa karena memang berniat keluar setelah ini.

"Lo dimana bang? Gue mau kesana."

***********

"Sen, lo tau kan ini udah jam sepuluh malem?"

Lelaki beralis camar itu duduk di sofa rumah papanya dengan wajah kantuk yang ketara. Keluarga mereka memang sengaja pindah untuk sementara ke rumah itu karena sang papa yang masih dirawat di rumah sakit dan agar memudahkan mereka untuk mengambil barang jika ada yang perlu dibawa ke rumah sakit.

"Iya bang." Sean mengangguk tanpa merasa bersalah, lelaki itu menatap Malven seolah tidak menyadari isyarat wajah sang sahabat yang tidak menerima tamu, "Gimana kabar bokap lo?"

Malven membenarkan posisi duduknya dan mengangguk, kali ini raut wajahnya lebih serius, "Dia pulang besok, keadaannya stabil."

"Syukurlah." Sean mengangguk, "Sama siapa di rumah sakit?"

"Ada mama dan tante Arin." Malven beranjak ke arah dapur untuk mengambil minuman di dalam kulkas, "Gue dan Manda disuruh pulang, Manda besok sekolah dan gue bakalan jemput mereka besok pagi."

Sean tidak membalas ucapan lelaki itu lagi untuk beberapa saat, karena Malven juga sedang berada di dapur dan dirinya juga sedang menyiapkan kata-kata untuk berkeluh kesah mengenai pikiran yang mengganggunya.

"Manda udah tidur?" Sean kembali bertanya sesaat setelah menerima sekaleng soda dari Malven.

"Udah kayaknya." Lelaki itu menjawab, Ia lalu menatap Sean, "Jadi, lo kenapa kesini Sen? Dokumennya udah gue kirim lewat email tadi ya, udah lo lihat?"

Malven sebenarnya sedikit banyak sudah tahu mengenai apa yang membuat Sean kini bertamu ke tempatnya. Apalagi jika bukan karena perihal perawatan kakeknya di luar negeri itu.

From Home [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang