34 : my everything.

605 60 0
                                    


'You're my everything.'

SELAMAT MEMBACA!!

************

"Levanka."

Lelaki dengan wajah blasteran itu menoleh ke belakang saat namanya dipanggil. Dilihatnya sang mama yang berjalan menghampirinya menyelusuri tepian kolam tepat Malven berdiam diri.

"Kenapa Ma?" Tanyanya saat wanita cantik itu duduk disampingnya.

"Papa kamu mau ajak kamu pergi."

"Kemana ma?"

"Jalan-jalan katanya."

Malven menatap bingung, "Jalan-jalan?"

Mamanya kembali mengangguk, "Manda bakalan ikut mama ke butik tante Arin hari ini." Wanita itu kemudian tersenyum simpul, "Tapi kalau kamu gak mau, nanti mama bilang ke papa kamu lagi."

Malven terdiam beberapa saat, sebelum mengangguk pelan tanda setuju. Melihat itu, mamanya tersenyum lebih lebar, Ia bangkit lalu menepuk pundak putranya itu dan menyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja dan hubungan anak dan ayah itu akan membalik.

"Mama yakin?" Tanya Malven ragu sebelum mamanya pergi.

"Ya, mama yakin."

Setelah percakapan singkatnya bersama sang mama di tepian kolam tadi, disinilah Malven akhirnya berada. Di dalam mobil mewah milik sang papa, menyetir dengan canggung dan tanpa banyak pembicaraan.

Hanya terdengar lantunan lagu tahun 90-an milik sang papa yang kini memecah keheningan suasana canggung mereka.

"Kita mau kemana?" Tanya Malven setelah mereka berkendara cukup jauh dari rumah.

"Ingat taman yang kita kunjungi waktu kamu kecil?" Lelaki paruh baya itu tersenyum tipis, "Sebenarnya papa tidak tau apa tempat itu masih ada."

Malven tidak menjawab, Ia berdeham pelan lalu mempercepat laju mobilnya menuju suatu tempat yang mungkin saja disebutkan oleh papanya tadi.

"Tempatnya masih ada." Malven berhenti dan memarkirkan mobilnya saat mereka sampai di sebuah taman indah yang tidak banyak pengunjung.

Kedua laki-laki berbeda usia itu berjalan menuju bangku taman berwarna putih yang tak jauh dari mereka dan setuju untuk duduk disana. Selama itu juga, yang mendominasi suasana masih saja perasaan canggung diantara mereka. Seolah-olah keduanya hanya orang asing, bukan keluarga.

"Bagaimana pekerjaan kamu?"

Tiga kata dalam satu kalimat tanya itulah yang pertama kali dilontarkan sang papa untuk memecah keheningan.

"Baik." Malven menatap lurus kedepan dan tersenyum simpul, "Seperti yang selalu papa harapkan, aku jadi dokter spesialis hebat yang sukses dalam pekerjaan."

"Kenapa kamu gak pindah ke rumah sakit keluarga kita sendiri?"

Mendengar itu, Malven menarik sudut bibirnya lagi, "Apa aku masih wajib mengikuti semua keinginan papa."

"Tidak." Lelaki paruh baya itu menggeleng pelan, "Maafkan papa, papa gak akan memaksa lagi."

"Manda mau jadi seniman, dia suka melukis." Mengabaikan ucapan papanya, Malven tiba-tiba beralih membahas tentang sang adik, "Aku harap aku ini sudah cukup buat wujudkan cita-cita papa, Manda jangan lagi. Tahun ini dia masuk kuliah, jadi biarin dia milih apa yang dia mau."

"Baik, papa gak akan larang, " Sang papa menoleh, "Apa kamu juga punya mimpi lain Malverick?"

"Ya awalnya, tapi sekarang aku suka jadi dokter." Malven tersenyum, kali ini lebih tulus, "Aku punya enam sahabat, tiga diantara mereka juga tenaga medis, satu lagi seniman seperti cita-cita Manda, dan ada si penyuka kamera, lalu ada si bungsu yang suka mengembara."

From Home [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang