15 : the rainy night II

842 71 2
                                    

SELAMAT MEMBACA!

.
.

'I can't say goodbye
So today I repeat it all again
I foolishly leave it up to
Tomorrow's me'

...........

Suara denting jarum jam beserta rintik hujan di luar apartemen menjadi satu-satunya sumber suara yang memecah keheningan di dalam ruangan persegi tempat keenam lelaki itu berkumpul. Sejak kejadian beberapa jam yang lalu, semuanya hanya bisa sibuk menangani pikiran khawatir yang memuat banyak pertanyaan didalam isi kepala masing-masing.

Sangga dan Azka bersandar di sofa dengan tangan yang memijat pangkal hidung, dan Arren yang memejamkan matanya dengan dahi berkerut, beserta Malven yang terdiam dengan tatapan kosong sambil sesekali meringis saat menyentuh luka di sudut bibirnya.

Sean yang baru saja kembali dari rumah sakit itu kini nampak baru saja selesai meminta penjelasan pada Liandra mengenai kronologi kejadian yang sempat Ia lewatkan. Bisa dibilang, satu-satunya yang tampak tenang di tengah-tengah situasi itu hanyalah Liandra Naraka. Lelaki itu hanya mencoba menepuk bahu Malven yang duduk di sebelahnya sesekali untuk menenangkan. 

"Menurut kalian, apa Jendral tidur?"

Satu kalimat yang terlontar dari Azka itu mewakili salah satu dari beribu pertanyaan di kepalanya.

"Mustahil." Malven menoleh ke arah lelaki dengan gigi kelinci itu, "Apa mungkin dia bisa tidur setelah apa yang gue sama Lian bilang ke dia?"

"Setidaknya kita bisa bangunin dia." Liandra ikut masuk dalam percakapan, "Dari mimpi-mimpi indah tapi palsu itu."

"Apa kita coba periksa bang Jendral?" Tanya Sangga khawatir.

"Bang Jendral bakalan baik-baik aja." Sean melontarkan kalimat penenang, "Tapi ada kalanya kita emang cuma harus nunggu."

"Sean bener, kalau kita masuk, Jendral bisa aja belum tenang, mungkin dia juga lagi mikir sekarang. Kita semua tahu kalo ini gak bakalan mudah buat dia."

Azka setuju pada perkataan lelaki itu, membuat Sangga menghela nafas berat.

"Bang Jendral pasti tersiksa banget selama ini, sampai dia harus menciptakan dunianya sendiri dimana dia bisa ngerasa senang."

Liandra ikut menghela nafasnya, "Kita tunggu aja dulu, kalau emang dia tidur, mungkin akan lebih baik, setidaknya kepalanya bisa istirahat buat mikir sebentar."

Di tengah-tengah percakapan serius mereka, Malven mendapati bahwa ponsel di saku celananya kini bergetar tanda panggilan masuk. Lelaki itu menatap teman-temannya sebentar sebelum menempelkan benda pipih tersebut di telinga kirinya.

"Ya, kalau begitu jadwalkan ulang besok saja. Saya bisa ke rumah sakit besok."

Lelaki dengan tampang bule itu berbicara di telepon selama kurang lebih lima menit sebelum kembali menutup teleponnya dan meletakkan benda itu di atas meja.

"Pasien?" Tanya Azka.

Malven mengangguk, hal itu membuat Sean sontak mengerutkan keningnya.

"Bukannya lo jatah libur besok?"

"Iya, ini pasien gue yang jadwal seharusnya kemarin, tapi diubah jadi besok karena kemarin dia ada urusan." Jelas Malven.

Sean mengerutkan keningnya, "Penting banget pasien lo itu sampai lo yang harus ikutin jadwal dia."

Mendengar itu, Malven hanya tersenyum tipis dan menggeleng membantah, "Gak gitu, kebetulan gue juga gak ada kesibukan besok jadi dipindah besok aja."

Sean akhirnya mengangguk mengerti, Liandra bangkit menuju toilet dan Sangga beralih berbaring dengan bantal kaki Malven. Sedangkan Azka, lelaki itu terlihat sedang memilih-milih pertanyaan di dalam kepalanya untuk dilontarkan.

From Home [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang