21 : dear dream

910 76 4
                                    

SELAMAT MEMBACA!

.

'When it's too hard, I will be your green light
Tell me after you deeply treasure the delighted feeling
Feel like what
We gon stay'

..........


**********

J

endral menghela nafas panjang yang entah mewakili kelegaannya atau masih berisi kekhawatiran yang dominan saat melihat sosok yang terbaring di brankar rumah sakit.

Lelaki dengan eye–smile itu memutuskan untuk pergi dari ruangan, menyisakan pasien bersama wanita paruh baya yang tadi duduk disebelahnya tanpa melepaskan genggaman tangannya pada Sangga sejak masuk ke ruangan.

"Ma, Jendral beliin makan ya."

Wanita itu sempat menoleh, Ia tersenyum tipis dan mengangguk, "Kalian semua juga makan aja dulu sana, tolong ajak Aletta dan Lea juga ya."

Jendral mengangguk lalu beralih menatap Sangga, "Gue tinggal dulu Ngga, kalau ada apa-apa langsung panggil gue."

"Makasih bang."

Jendral mengangguk lagi, mengiyakan, sebelum benar-benar menggeser pintu ruangan dan keluar dari sana. Menyisakan Sangga yang masih berbaring tanpa ekspresi serta sang mama yang masih saja belum bisa menghilangkan raut khawatir dari wajahnya.

"Sangga butuh sesuatu?"

Lelaki itu menggeleng, "Lea gapapa ma?"

"Gapapa." Wanita itu lagi-lagi tersenyum menenangkan meskipun ketara sekali bahwa matanya sembab, "Kamu berhasil menyelamatkan dia."

Lelaki jangkung itu mengangguk singkat, Ia menghela nafas lega meski matanya masih terlihat menyimpan banyak pertanyaan serta pernyataan yang entah kapan akan Ia ungkapkan pada orang terdekatnya itu.

"Sangga."

"Ya, ma?"

"Jangan terlalu banyak mikir dulu ya, papa udah di bandara mau pulang kesini, temen-temen kamu, Aletta, Lea juga disini mereka gapapa. Jadi jangan pikirin apapun ya." Titah sang mama.

"Cantik gak ma?"

Wanita yang masih duduk di kursi sebelah brankar itu mengerutkan keningnya, "Siapa?"

"Aletta."

Mendengar itu, sang mama mengulum senyum, "Mau langsung lamaran setelah sembuh?"

Sangga terkekeh ringan, maksud ucapannya adalah untuk membuat mamanya tersenyum, buktinya kini Ia berhasil melihat kerutan di pipi wanita itu karena tawanya.

Sangga tersenyum lagi, "Mama."

"Iya sayang?"

"Kaki aku–" Lelaki itu merubah raut wajahnya, "apa bisa sembuh?"

Wanita paruh baya itu terdiam sebentar, seolah-olah pertanyaan yang sedari tadi Ia hindari kini terlontar juga dari mulut sang anak. Barangkali Ia belum jawaban yang tempat, atau memang tidak memilikinya hingga hanya keterdiaman yang mendominasi suasana mereka saat ini.

Sangga kembali angkat bicara, "Ma, apa aku bisa naik gunung lagi?"

"Bisa sayang." Wanita itu meraih tangan Sangga lagi dan menggenggamnya lebih erat, "Malvin akan sembuhin kamu, dia akan bantu kamu, kita semua akan berusaha sama-sama ya."

Sangga menatap ragu, "Bang Malvin?"

"Dia sendiri yang akan ambil alih kamu sebagai pasiennya, kita bisa mulai pengobatan rutin tiga hari lagi."

From Home [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang