- 5

338 37 3
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Zeon menjatuhkan tubuh ke tempat tidurnya. Matanya menerawang ke langit-langit kamar. Helaan napas panjang, Zeon memejamkan matanya sesaat.

Sudah sekian lama akhirnya Zeon bertemu lagi dengan orang itu. Seseorang di masa lalu yang mengubah hidupnya.

Dia merenggut semua mimpi Zeon hingga menjadi seperti sekarang.

Dan ternyata orang tersebut justru berhubungan dengan seseorang yang Zeon kenal. Sedikit terkejut, namun ada rasa sedikit kemenangan dari hati kecilnya.

"Atau ... ku rebut saja kekasihnya?" gumam Zeon.

Beberapa saat terbayang wajah Nichole sepintas dalam bayangannya. Zeon mengerang pelan. Dia akhirnya bangkit, sedikit mengusap rambutnya ke belakang.

"Masalahnya kenapa harus wanita ini...?"

•••

Nichole diam-diam menutup mulutnya, sedikit menguap di tengah-tengah rapat klien saat ini. Ayahnya itu dengan paksa menyuruhnya untuk ikut dalam rapat dengan klien kali ini. Alasannya karena Nichole akan menjadi penerusnya.

Namun, itu masih sangat lama, pikir Nichole. Ayahnya saat ini justru masih bisa bertanding gulat, masih senantiasa kuat untuk mengurusi perusahaannya.

Beberapa menit bahkan jam, akhirnya Nichole berhasil menghirup udara bebas. Dia tersenyum pada beberapa klien untuk memperlihatkan image putri yang baik.

"Kalau begitu aku pergi dulu, Yah," ucap Nichole telah melenggang duluan tanpa mendengar jawaban dari sang ayah.

Perempuan dengan dress hitam ini membenarkan bagian atas dressnya. Dia bahkan repot-repot berdandan.

Saat sudah berada di lobby, Nichole mengeluarkan handphonenya. "Pak sopir dimana ya?"

Terus berjalan hingga keluar dari gedung besar itu. Nichole menatap sekitar, mencari sopirnya yang hilang entah kemana.

Nichole berdecak. "Ck, kemana sih?"

"Gak perlu ditungguin. Orangnya gak akan datang."

Mata Nichole beralih ke arah seseorang di samping, dan berjalan santai ke arahnya. Tangannya terulur, memberikan sebuah buket bunga indah. "Untukmu, sayang," kata Sean mencium kening Nichole sekilas.

Nichole mendengus sebal. "Kau yang bilang untuk jangan mengantarkan aku, bukan?"

"Hm, tentu saja. Kan sekarang kamu bisa pulang denganku."

Nichole memutar bola matanya, malas. Menjauhkan diri dari Sean detik itu. "Entahlah, aku mulai pusing dengamu."

"Aku tidak ingin melihat wajahmu," lanjut Nichole menohok.

Sean tak berkutik di tempatnya. Dia menelan ludahnya, gugup. Buket bunga yang tadi dia berikan ternyata dengan sengaja Nichole menjatuhkannya.

"Aku sudah muak, Sean. Kau tidak pernah jujur padaku." Nichole menghirup udara banyak-banyak sebelum akhirnya berkata, "Ayo kita akhiri hubungan ini."

"Apa maksudmu?!"

"Ssstt..., aku tidak ingin dengar alasanmu."

Sean merebut pergelangan tangan Nichole. "Tidak, Nic. Aku tidak mau hubungan ini berakhir."

Cekalan itu terpaksa putus oleh Nichole. Dia menatap sengit. "Lebih baik kau introspeksi diri. Aku tidak mau menjadi seorang wanita yang diselingkuhi namun buta pada sikapmu untuk tetap bertahan."

Tidak. Ini sudah lama sekali Nichole rencanakan. Dia bukan berarti orang jahat karena melepaskan Sean hanya karena beberapa hari terakhir Sean ternyata menyelingkuhinya.

Dari dulu Nichole merasa hubungan mereka justru hanya sebuah status tanpa perasaan.

Alasan terselubung lainnya adalah, Nichole menjadikan Sean sebagai pelarian.

'Padahal kini aku telah membebaskanmu, bodoh.'

•••

Padahal ini keputusannya sendiri untuk bepergian jauh tanpa ditemani siapapun. Namun agaknya Nichole menyesali hal tersebut. Karena hingga saat ini, dia merasa mobilnya seperti ada yang mengikuti.

Di dalam perjalanan Nichole terus saja menatap kaca spion mobil. Terus gelisah dan takut.

Kejadian di masa lalu juga membuatnya sedikit trauma.

Nichole berjalan waspada, namun karena tidak tahan atas ketakutannya ia pun akhirnya lari dari parkiran mobil menuju ke lobby apartmentnya. Dia terus merasa terintimidasi dengan keadaan.

Di dalam basement luas itu, Nichole terus berlari tanpa menoleh sedikit pun. Jantungnya berpacu berkali-kali lipat. Keringat dingin mulai menjalar di keningnya.

Bukannya keluar dari basement, Nichole jutsru teralihkan oleh sesuatu di sudut sana. Seorang pria dengan wajah santainya tengah menyadar pada dinding. Tangannya memegang sebuah puntung rokok, lantas mengisapnya.

Dan Nichole dengan gerakan reflek karena keadaan, dia justru berlari ke arah pria aneh disana.

Zeon tersenyum miring.

Nichole akhirnya meraih tubuh pria itu, memeluk lehernya erat bahkan tak peduli jika dia harus berjinjit. Napas Nichole tersengal-sengal, dia semakin mempersempit jarak mereka.

Sebenarnya Zeon tahu Nichole akan menghampirinya. Tapi, walaupun begitu dia sedikit terkejut saat pelukan itu terasa seperti sebuah pelukan meminta pertolongan. Dan dapat Zeon rasakan jika tangan Nichole bergetar.

"Apa kau sebegitu takutnya dengan pengawal keluargamu itu?" bisik Zeon, tangannya ikut membalas pelukan perempuan ini dan mendekapnya erat.

Nichole menghirup udara panjang sebelum akhirnya berkata, "Itu bukan mereka. Karena saat ini mereka menginginkan nyawaku."

Alis Zeon bertaut. Dia mungkin masih bingung dengan perkataan Nichole namun melihat situasi yang sangat dicurigai, pria ini membalikkan tubuh Nichole hingga kulitnya bersentuhan dengan dinding. Zeon semakin menyudutkannya.

"Setidaknya jika begini mereka tak akan melihatmu bukan?"

Rona merah itu kian kentara di kedua pipi Nichole. "Kenapa kita terus berada di posisi seperti ini."

Zeon terkekeh pelan, dia meraih dagu Nichole untuk menyuruh orang di depannya ini menatapnya. "Karena kau menyukainya."

"Sialan."

Walaupun dengan umpatan, Nichole justru membawa kepalanya bersembunyi di dada bidang pria ini.

Zeon membelai helai rambut Nichole, menyelipkannya di daun telinga. Tangan satunya lagi meraba tengkuk leher Nichole.

"Sudah sangat lama, bukan, aku tidak bertemu denganmu."

"Karena itu ayo kita bermain."

Last ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang