- 15

181 28 3
                                    

"Steven

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Steven...?"

Orang yang dituju pun sontak menoleh, dia menghampiri Nichole segera. Nichole sendiri dengan ekspresi bingung dan khawatirnya hanya diam menunggu penjelasan Steven.

Steven menceritakan semua kejadian tentang Zeon, dan bagaimana Zeon berakhir mengenaskan karena dipukuli. Nichole hanya terduduk tak berdaya mendengar perkataan Steven yang membuatnya merasa tak percaya pada kelakuan Sean.

Nichole memegang kepalanya. "Kenapa pria itu sulit sekali ku bilang—"

"Sudahlah, lagipula Sean juga tengah dirawat sekarang."

"Aku tidak peduli."

Steven hanya menghela, dan mengusap bahu Nichole. "Yang dipedulikan sekarang adalah Zeon. Apa kau mengenal keluarganya."

"Aku tidak tahu..., tapi, sepertinya temannya mengetahui hal itu."




Sudah lebih dari 3 hari berlalu, Zeon sama sekali belum tersadar. Dokter bilang jika kondisinya terus meningkat, tapi pria itu tidak pernah membuka matanya.

Nichole hanya menatap diam. Zeon dengan santainya hanya tertidur pulas tanpa memperdulikan dirinya yang bahkan lupa untuk makan ini.

Nichole berdecak kesal. "Kau pikir kau ini siapa? Aku akan marah padamu jika siuman nanti. Kenapa kau tidak mau membuka matamu, Zeon?"

Tangan Nichole meraih tangan Zeon, menggenggamnya erat. "Ayo buka matamu."

"Kau tau, aku bahkan rela berlarian kemari setelah mendengar kau dirawat. Apa kau juga tau, aku bahkan tidak peduli dengan image anggun ku."

Nichole mulai berkaca-kaca. "Dan apa kau tau, aku bahkan rela meninggalkan dia untukmu, Zeon. Dia yang selalu dalam bayangan dan pikiranku, akhirnya terlupakan karenamu."

Tak menyadari perkataannya sendiri, Nichole tiba-tiba diam mencermati kembali perkataannya. Dia sontak melepaskan tangan Zeon. Beralih keluar dari ruang rawat Zeon tiba-tiba.

Nichole berjalan dengan pikiran aneh di kepalanya. Kenapa tiba-tiba perasaan aneh mulai muncul pada dirinya.

Alhasil Nichole akhirnya duduk di bangku taman rumah sakit tersebut. Lamunannya hanya berisi tentang dirinya dengan Zeon. Bagaimana bisa Nichole menumbuhkan rasa pada pria itu? Dia bahkan tidak sadar.

"Hahaha tidak mungkin bukan? Aku tidak akan jatuh cinta padanya. Tidak akan!" tegas Nichole pada dirinya sendiri.

Tapi, mengingat kejadian dimana Nichole lebih memilih mengkhawatirkan Zeon daripada Jay itu sangat mengganggunya.

"Apa aku telah kalah?"

•••

"Kau akhir-akhir ini tidak fokus, Nichole."

Nichole melirik ayahnya dan tetap melanjutkan kegiatan makan malamnya. Dia memilih tak menjawab.

"Kau bahkan pergi tiba-tiba di acara besar kemarin, bukan?"

"Temanku kecelakaan, aku tidak mungkin diam saja, kan."

Ayahnya hanya menghela gusar. Lantas kembali menatap Nichole lekat. "Yasudah, tapi yang terpenting jagalah makanmu, Nichole. Akhir-akhir ini kau banyak melamun dan sampai lupa untuk makan."

Lagi-lagi Nichole memikirkan Zeon. Apa sebegitu pengaruhnya dia bahkan sampai ayahnya pun tahu gelagatnya selama ini.

Bagaimana tidak khawatir, Zeon sudah seminggu tidak membuka matanya. Itu semakin membuat Nichole terus-terusan mencemaskannya.

Dia juga tengah menyelidiki kasus Zeon saat ini. Ia akan membawa pelaku ke jalur hukum jika bisa. Beberapa pegawai ayahnya Nichole rebut sebentar untuk melacak dan menggali informasi tentang beberapa tersangka.

Nichole berjalan cepat, dia datang ke kantor pagi ini. Ada beberapa hal yang harus ia urusi juga.

Mata Nichole melirik pada sebuah pintu yang terketuk dari luar. Nichole hanya menghela, dan berujar, "Masuk."

"Permisi, Nona Nichole. Ada yang mau saya sampaikan tentang pelaku kasus Zeon."

Nichole yang saat itu tengah mumet lantas menatap serius. "Siapa saja?"

"Ada beberapa orang yang saya dapat. Tentu saja salah satunya, mantan kekasih Nona Nichole. Ternyata Sean juga memanggil teman-temannya dengan sengaja. Seperti sudah direncakan."

Tangan Nichole menekan keras pulpen yang ia pegang. Rahangnya mengeras. "Bagus. Terimakasih atas kerja kerasmu. Dan aku mohon untuk tuntas semuanya."

"Baik, Nona."

Nichole hanya mendengus kesal lantas merebahkan punggungnya ke kursi kerja. Rasa lelah sudah mulai menggelayuti tubuhnya. Namun, Nichole tetap mengerjakan semuanya dalam waktu singkat.

Alasan lainnya adalah untuk menyibukkan diri dari pikirannya tentang ke-khawatiran Nichole untuk Zeon.

Suara dering ponsel mengalihkan perhatiannya.

'Zeon sudah sadar dari koma.'

Nichole langsung menyambar jas pakaian kerjanya, dan menuju rumah sakit sesegera mungkin.

•••

Langkah Nichole berhenti di depan pintu putih di depannya. Entah kenapa rasanya sangat mendebarkan seakan berpikir sesuatu yang buruk akan terjadi.

Tangan Nichole menggenggam erat kenop pintu. Dan saat membukanya, dia terkejut menatap orang-orang di dalam sana. Ada Noa, Nevi dan Andreas. Mereka bertiga serentak menoleh ke arah Nichole.

"Hai...?"

"Nichole?" seru Noa antuasias. Dia menghampiri Nichole segera. "Akhirnya kau datang juga."

Nichole mencuri pandang ke arah Zeon yang masih berbaring.

"Dia telah tidur kembali, Nic. Tapi, tenang saja dia benar-benar siuman. Hanya kondisinya sangat lemah."

Nichole menghela lega. "Syukurlah." Dia berjalan mendekat Zeon. Kembali menatap sendu Zeon yang terbaring tak berdaya. "Aku harap kau lekas sembuh, Zeon."

Tangan Nichole terulur memegang jari telunjuk Zeon, menggenggamnya erat. Tak lama kemudian jari tersebut bergerak lemah dan semua orang menyadari hal itu.

Nichole terkejut sekaligus terharu. "Zeon, akhirnya..."

Mata Zeon yang masih berusaha keras untuk terbuka sempurna. Dia memperjelas setiap orang disana. Dan berakhir pada Nichole.

Pria ini menatap genggaman Nichole di jemarinya. Menatapnya lama hingga kembali menatap wajah Nichole yang sudah berkaca-kaca.

"Apa ... yang kau lakukan?"

Last ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang