South Korea, 12:16 AM, December 2015.
Sinar rembulan dengan semburat putih kemerahan di sekelilingnya berpendar terang, cahayanya mengitari separuh bumi. Purnama di sambut tanpa pamrih. Indah terlukis di langit malam.
Selama tiga detik mendongak menatap rembulan, wanita yang kini sedang mengenakan pakaian rumah sakit berwarna biru meneguk salivanya kasar. Susah payah di telannya air ludah itu, kerongkongannya terasa kering bagai gurun pasir yang tandus. Napasnya terengah-engah, bersamaan dengan bulir-bulir peluh yang menetes dari pelipis mengalir ke dagu. Juga peluh yang membasahi leher serta tubuhnya.
Kaki tanpa alas itu kembali melangkah separuh berlarian, sambil mencari tempat persembunyian untuk sementara. Sebuah bangunan tua lusuh nan nyaris ingin roboh menjadi persinggahannya selama beberapa saat.
Dering ponselnya mengagetkan. Wanita itu terlonjak seakan jantungnya akan mencelos keluar dari tempatnya, dadanya yang berdegup kencang di peganginya sambil di usap-usapnya.
Berengsek! Ia membatin.
Decakan geram ia layangkan ketika mengangkat panggilan telepon, seraya duduk bersandar lemas di balik dinding lapuk dan keropos catnya. Dahinya mengernyit dengan mata yang terpejam selama beberapa saat, kemudian terbuka lagi, menampilkan pandangan yang lelah juga sayu.
"Stupid! I told you to abort your pregnancy!"
Mata bulat itu terpejam refleks, sembari menjauhkan ponsel dari telinganya, mendengar lengkingan suara sang penelepon yang nyaring memekak. Desahan napas panjang yang terdengar lelah mengudara.
Wajahnya agak meringis merasakan perih di bagian kewanitaannya sehabis melahirkan satu jam yang lalu, beserta darah yang mengalir bebas di pahanya. Wanita itu menarik napas panjang dan menghembuskannya hingga beberapa kali, sampai ia rasa dirinya cukup mampu mengendalikan diri.
"Do you hear me?"
Orang di seberang sana bertanya karena tak ada jawaban dari wanita yang kini menatap lekat ke wajah bayi yang ada dalam pelukannya, sambil terduduk lemas dengan kaki yang terbujur kaku.
"Lalisa?"
Wanita yang di sebut namanya pun berdeham pertanda ia mendengar. Helaan napas lega terdengar dari sambungan telepon. Tadinya ia berpikir bahwa sedang terjadi sesuatu pada Lalisa, karena tak terdengar sahutan apapun. Namun syukurnya kekhawatirannya salah.
"Dengar, jika Kim menemukan kalian, maka bayimu mungkin akan di bunuh—"
Tuttt!
Panggilan itu sontak Lalisa matikan dan ia melempar ponselnya hingga terbentur pada dinding, lantas pecah berkeping-keping tak berupa.
Lalisa mengerang frustasi nyaris menangis, ia mengusap wajahnya gusar sambil menyeka keringat di dahi. Malam semakin larut, dan ini sudah menjelang dini hari. Lalisa tak memiliki tujuan di negara ini. Ia tak tahu kemana harus membawa bayinya lari dari pengejaran.
Wanita dengan surai setengah punggung sewarna malam itu kembali mengatur napasnya, dadanya naik turun seiring dengan banyaknya oksigen yang ia hirup.
Beberapa saat setelahnya, Lalisa membawa kakinya untuk berdiri. Tubuh ringkih dan tenaga getir yang tersisa memaksa ia kembali berjalan menyeret kedua tungkai kurusnya. Sesekali di tatapnya dengan cemas wajah bayinya yang melulu menangis karena lapar. Darah yang mengalir di betisnya tak lagi ia hiraukan.
"Syuttt, tenang nak." Gumamnya di sela-sela napas yang terdengar kian berat.
Lalisa tiba di suatu tempat, ia berdiri di depan gerbang rumah besar mengenakan pakaian rumah sakit yang kusut dan lusuh, menatap ke dalam sana dengan pikiran yang mulai berperang dengan ego. Rasanya sudah lama sekali tak menginjakkan kaki ke tempat ini, hingga nyaris membuat Lalisa lupa bagaimana suasana tempat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
IRIDESCENT [Taelice Oneshot]
FanfictionDon't trust too much. Don't love too much. Don't hope too much. Because that "too much" can hurt you so much. update according to mood Inspired from anywhere.