-------
Pagi itu, Hamka duduk di meja makan, dengan secangkir kopi hitam yang baru diseduh. Udara dingin masih terasa meski matahari sudah mulai menaungi rumah. Pagi seperti ini, dia lebih suka menyendiri didepan teras melihat keluar gerbang diaman banyak warga berlalu lalang , Menghadapi dunia yang terlalu ramai dengan tugas, rapat, dan hal-hal lain yang tak ada habisnya.
Namun, seperti biasa, dunia itu tak pernah meninggalkannya begitu saja.
Sedangkan didapur Lutfian sedang duduk di kursi meja makan dengan laptop yang menyala didepannya dan juga susu di sampingnya
“Bang Lutfian, maafin mama ya... ini masalahnya jadi makin rumit,” suara Nindi datang dari pintu dapur, sambil menggenggam tumpukan surat yang baru saja diterimanya.
Lutfian mendongak, memperhatikan ibunya dengan raut wajah yang sulit ditebak. Wajahnya datar, seolah masalah yang datang tak mampu menggoyahkan ketenangannya. Padahal, di dalam pikirannya, masalah yang datang seperti gelombang besar yang menantang.
"Hm." Lutfian hanya berdehem lalu kembali melanjutkan kegiatannya, sedangkan Nindi yang melihat itu menghela nafas pelan, lalu pergi ke teras depan untuk menemui suaminya.
"Mas, kita punya masalah." Ujar Nindi disamping Hamka.
“Masalah apalagi, Ma?” tanya Hamka sambil meneguk kopi, lalu menyandarkan punggungnya pada kursi.
Nindi duduk di seberangnya, menghela napas panjang. “Mungkin sudah saatnya kita pikirkan sesuatu tentang Nala. Dia semakin... manja, Hamka. Dan di sisi lain, Hera makin jauh dari kita begitu juga Lutfian yang ikut menjauh.”
Hamka terdiam sejenak, menatap istrinya. Ia tahu masalah ini sudah lama ada, tapi selama ini ia memilih diam. Menjadi pihak yang tak terlibat, meski sebenarnya ia tahu betul ada kekosongan yang harus diisi.
“Nala perlu diajarin tentang batasan, Ma. Nggak bisa selalu dipeluk terus. Tapi, soal Hera... Papah tahu dia lebih pilih diam.”
Nindi menggigit bibirnya. “Dia takut, Hamka. Takut kehilangan. Dia nggak pernah bilang langsung, tapi aku tahu.”
Hamka memejamkan mata sejenak, menenangkan diri. Ia tidak tahu harus berkata apa. Seumur hidupnya, ia selalu melihat hidup lewat kacamata yang berbeda. Semua masalah bisa diselesaikan dengan kepala dingin. Tapi entah kenapa, kali ini ia merasa sedikit kalah.
“Papah pernah nanya ke Hera, Ma,” ujar Hamka pelan, “dia selalu bilang nggak butuh perhatian lebih. Dia bilang dia baik-baik saja. Tapi papa tahu... itu cuma pelarian. Dia butuh kita, cuma dia nggak mau tunjukkin.”
“Mama takut kita semua terlambat,” jawab Nindi, suaranya bergetar. “Terlambat untuk memperbaiki semuanya.”
“Enggak ada yang terlambat, Ma. Selama kita masih bisa saling ngomong, masih ada waktu,” kata Hamka, mencoba meyakinkan istrinya, meski dalam hatinya ia sendiri ragu.
Ragu dengan apa yang akan terjadi kedepannya, iya tidak bisa menebak pikiran Hera, anak itu sulit ditebak dan semuanya salah dia dan istrinya.
Hera. Anaknya yang selama ini ia anggap kuat, mandiri, dan bisa mengatasi segalanya. Tapi setelah kejadian-kejadian belakangan ini, Hamka mulai merasa bahwa mungkin Hera tak sekuat yang ia kira. Mungkin, justru mereka berdua Hamka dan Nindi yang harus lebih peduli. Lebih berusaha.
“Nala masih bisa diajarin, Ma. Tapi Hera? Kita harus cari cara supaya dia tahu kita peduli.” Hamka melanjutkan dengan suara yang lebih tegas.
Nindi mengangguk pelan. “Aku tahu, Pah. Aku cuma nggak tahu harus mulai dari mana.”
“Ada waktu, Ma. Ada waktu.”
Keheningan menyelimuti teras depan untuk beberapa detik. Tentu saja, keheningan itu tidak berarti masalah mereka sudah selesai. Tapi, untuk pertama kalinya, Hamka merasa sedikit lebih ringan. Mungkin ia belum punya jawaban atas semua masalah yang ada, tapi setidaknya ia tahu bahwa tak ada yang harus ia selesaikan sendirian.
---

KAMU SEDANG MEMBACA
In Omnia Paratus [End]
Ficção AdolescenteHera merasa seperti hantu di rumahnya sendiri. Ia tak pernah benar-benar dimarahi, tapi juga tak pernah dicari. Ia tumbuh dengan keheningan setiap harinya. Di balik sikap cuek dan tatapan kosongnya, Hera cuma anak yang diam-diam berharap: "Tolong, l...