33. Cerita Yang Tak Pernah Diungkap

836 27 1
                                    

Ikal-ikal rambut yang basah itu tergerai indah di bahu Bella. Ia baru saja selesai mandi. Hanya dengan bath robe yang membalut tubuhnya, kini ia sedang duduk di depan meja rias untuk menyisir rambutnya.

BLUSH!!

((Aku mencintainya, Chelsea. Aku mencintai Arabella))

Bella sontak menunduk dan menangkup kedua pipinya yang mendadak merona hangat karena kalimat Regan yang kembali terngiang di dalam pikirannya. Kalimat pernyataan cinta yang membuat sekujur tubuhnya mendadak panas dingin.

Seuntai senyum malu-malu pun merekah di bibir penuh alami tersebut ketika mengingat bagaimana Regan mengecup dan menggenggam hangat tangannya di depan Chelsea.

Bella menyentuh bagian dada dimana jantungnya menjadi berdebar dalam orama yang tak terkendali hanya dengan mengingat sosok Regan. Sejenak ia menutup mata, berusaha meresapi makna debaran jantungnya yang baru-baru ini ia rasakan.

Apa ini yang namanya jatuh cinta?

Bella tidak tahu. Sungguh. Ia belum pernah merasakan perasaan sedalam ini sebelumnya, meskipun ia sudah pernah menikah.

Hubungannya dengan  Anggra adalah karena perjodohan antar keluarga. Bella yang sejak dulu selalu penurut dan tidak banyak tingkah pun sama sekali tidak protes ketika dirinya dijodohkan.

Mereka bahkan belum sempat pacaran, karena setelah pertama kali diperkenalkan waktu itu Anggra pun langsung melamar Bella, dan tak lama kemudian menikahinya. Semuanya begitu cepat, bagai satu kedipan mata.

Selama menjadi istri Anggra, Bella pun tak tahu apakah ia sungguh-sungguh mencintai suaminya itu ataukah hanya karena terpaksa.

Yang jelas, Bella tidak pernah se-berdebar ini kepada siapa pun, selain kepada Regan. Si lelaki dengan netra biru safirnya yang selalu membuatnya terbius.

Satu kenyataan itu membuatnya teringat kalau lelaki yang mungkin ia cintai adalah suami orang, dan hal itu pun menuntunnya kepada Patricia yang sedang sakit. Regan bilang, kalau istrinya itu memang benar-benar menderita kanker.

Bella menaruh sisirnya di atas meja, lalu menatap dirinya dari balik cermin. Ia tahu kalau tidak sepantasnya berada di sisi seorang lelaki yang masih terikat dalam sebuah pernikahan, tapi bolehkah jika sekali ini saja ia berharap??

Sambil menghela napas, wanita itu pun berdiri dan membuka bath robe untuk menggantinya dengan baju. Bath robe itu ia taruh di atas ranjang, dan Bella meraih satu set pakaian santai yang sudah ia siapkan persis di sebelah bath robe-nya tergeletak.

CKLEK!

Belum sempat Bella mengenakan pakaian dalamnya, suara pintu kamar yang tiba-tiba terbuka membuatnya terkesiap kaget. Ia cepat-cepat meraih kembali bath robe untuk menutupi tubuh polosnya yang masih lembab sehabis mandi, lalu mengalihkan wajahnya ke arah pintu dimana berdirilah sosok yang baru saja masuk.

Kamar Bella memang tidak pernah dikunci, karena menggunakan sistem sidik jari yang hanya bisa diakses oleh sang empunya kamar, yakni Regan. Dan selama ini tidak pernah ada yang berani masuk begitu saja sebelum mengetuk pintu selain siapa lagi kalau bukan Regan.

Dan oh ya, tentu saja Patricia juga. Namun sudah sejak lama Regan memblokir wanita itu dari kediamannya ini.

Maka satu-satunya orang yang berani masuk ke dalam kamar ini tentu saja sang empunya villa megah bak istana di negeri dongeng ini sendiri, Regan Bradwell.

Bella mengerjap saat maniknya beradu tatap dengan netra biru safir yang terlihat dingin di luar, namun ia juga bisa melihat kilatan-kilatan percikan api yang mulai membara di dalamnya.

"Sepertinya aku datang di saat yang tepat," ucap Regan tanpa melepaskan pandangannya dari manik sebening embun di pagi hari milik Bella. Tatapannya kini jatuh menyusuri leher jenjang serta bagian depan tubuh berlekuk sensual yang hanya ditutupi asal-asalan oleh Bella karena terburu-buru. Ia tidak sempat mengenakan baju mandi itu, dan hanya menutupi bagian depan tubuhnya saja.

"Kamu baru selesai mandi?"

Bella mengangguk pelan serta menggumankan sebuah kata yang terdengar seperti kata "ya".

Langkah tenang Regan pun mulai mengayun menuju Bella berdiri mematung. Setiap ayunan langkah yang membuat jantung Bella berdebar tak terkendali. Dirinya bagai seekor buruan yang telah terhipnotis oleh pemangsanya, pasrah dan rela untuk diterkam dan disantap sebagai makanan.

Regan berhenti dengan jarak hanya selangkah dari tempat Bella berdiri. Entah kenapa rasanya begitu canggung bagi Bella, padahal sudah tidak terhitung lelaki itu melihat tubuh polosnya. Namun di bawah netra sebiru safir yang berkilauan itu Bella selalu merasa kecil dan tak berarti.

Seperti seonggok debu tak berarti yang dipandangi oleh bintang yang bersinar indah.

((Aku mencintainya, Chelsea. Aku mencintai Arabella))

Bella menelan ludah dan menunduk dengan kedua pipi mulai merona, tatkala perkataan Regan tadi kembali terulang di pikirannya. Ia merasa malu dan tidak pantas..

Regan menyentuh dagu Bella lalu mendongakkan wajah cantik itu hingga kini kembali menghadapnya. "Jangan menunduk. Apakah permadani itu lebih tampan dibandingkan aku?" Godanya sambil terkekeh kecil.

Bella hanya meringis malu. Tentu saja ia lebih suka memandangi wajah Regan yang benar-benar tampan dan maskulin, hanya saja otaknya yang bodoh ini selalu saja memutar dan memutar kembali memori pengakuan cinta lelaki itu.

Aaghh!! Dan wajahnya pun semakin merona dibanding sebelumnya!

Bella terkesiap kaget ketika Regan menarik tangannya yang sedang mencengkram bath robe, sehingga kini tubuh Bella pun terpampang tanpa baju mandi itu yang menutupi tubuh polosnya. Serta-merta ia membuang wajahnya yang sudah semerah langit senja di cakrawala.

Pandangan Regan pun sontak menunduk. Sorot kekaguman yang dipenuhi rasa damba kembali terlukis di sana. Bagaimana wajah cantik dengan tubuh seksi ini akan selalu memenuhi fantasinya akan sesosok wanita yang sempurna di matanya. Wanita yang akan ia genggam dan tidak akan pernah sedetik pun ia lepaskan.

"Bukankah ini tidak adil?" Ucap Regan dengan suara beratnya yang mulai terdengar serak dipenuhi gelora.

"Hum?" Bella hanya mengerjapkan matanha bingung mendengar pertanyaan yang tidak ia mengerti.

"You are naked, but I'm fully dressed," terang Regan dengan half smirk yang menghiasi wajah tampannya. "So take it all off, Arabella. Take off all my clothes," titahnya.

"Bukankah itu baru yang namanya adil?"

***

Chelsea memandangi pemandangan di luar jendela kamar tidurnya. Tatapannya nanar saat terngiang ketika mobil Regan keluar melalui pintu gerbang kediaman miliknya, lalu seakan tahu bahwa ibunya sedang memandangi kepergiannya dari lantai dua kamarnya, Regan pun membuka jendela mobil dan melambai ke arah Chelsea.

Ah, putranya itu memang sangat peka dengan perasaan ibunya. Chelsea sangat menyukai sifat Regan yang hangat kepadanya itu, yang sangat persis seperti George.

Sebelum si jalang itu datang dan merusak segalanya.

"Chloe, aku sangat membencimu." Bibir yang terpulas lipstik merah elegan itu kembali mengucapkan kalimat yang entah sudah keberapa juta kali ia ucapkan sejak bertahun lalu.

Kaki yang terbalut celana panjang hitam itu pun melangkah menuju kabinet di samping lemari, dan membuka lacinya. Sebuah foto berpigura putih yang terlihat sudah lama diraih oleh Chelsea.

"Kau sudah merampas George, cinta dalam hidupku. Maka jangan salahkan jika aku juga merampas anak-anakmu, Chloe."

Tatapan biru safir itu menyorot dingin pada foto dua orang gadis muda dengan wajah yang rupawan dan serupa tanpa cela bagai pinang dibelah dua.

Di dalam foto itu, keduanya sedang tertawa ceria sembari saling memeluk bahu. Ada juga sebaris tulisan dari tinta yang sedikit luntur, namun masih dapat terbaca dengan jelas.

((To Chelsea, my lovely twin sister. Remember that I always love you! --XOXO, Chloe--))

KLUB TUKAR ISTRI (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang