12. Hari Baru, Tanpa Kamu

203 16 11
                                    

SELAMAT MEMBACA ❤️

(direkomendasikan sambil dengerin lagu Marcell - Takkan Terganti)

------------------------

Asap yang mengepul, bersatu dengan aroma kopi, menjadi penghias ruangan kecil itu. Ruangan yang didalamnya banyak sekali kenangan yang tidak bisa diganti dengan apapun, meskipun waktu terus bergulir tanpa henti.

Dengan sebatang nikotin yang ia hisap, Jevan duduk bersandar di kursi yang biasa di duduki oleh Dipta. Awalnya, kursi itu tidak pernah diduduki siapapun sepeninggal Dipta. Namun, kini mereka lebih memilih untuk mendudukinya. Mereka tidak ingin kepergian Dipta benar-benar terasa kepergiannya. Meskipun, kekosongan tak bisa membohongi perasaan mereka. Kekosongan, tetaplah kekosongan.

"Ck. Udah mulai lagi lu berdua?" Raka yang baru saja datang, langsung mendecak melihat kedua sahabatnya itu kembali pada kebiasaan buruk mereka.

"Lo nggak mau ngomelin gue? Gue kangen di omelin cuma karena gue nyebat." sahut Jevan terlihat santai sambil memainkan kepulan asap yang baru dikeluarkan dari mulutnya. Namun, siapapun bisa melihat gurat kesedihan dimatanya.

"Ngapain? Kalau lo emang sadar, lo bakal nahan diri lo! Bukan minta gue omelin, kocak!"

Mendengar ocehan dari Raka, Jevan pun hanya bisa terkekeh, lalu mematikan rokoknya itu didalam asbak. "Tumben lama? Habis darimana lo? Kusut amat." tanyanya.

"Hah... Biasa, Jev. Emak sama Bapak gue kumat lagi ngibarin bendera perang. Posisi gue lagi cuci mobil. Tanggung amat kalo gue tinggal. Ya udah. Gue cuci mobil sambil dengerin musik paling memuakkan sepanjang masa." Raka tertawa hambar.

"Mereka masih aja ribut?" tanya Nana yang sedari tadi hanya fokus pada ponselnya.

"Udah nggak sesering dulu, sih. Cuma, ya tetep aja gue tertekan."

"Berat banget jadi dewasa. Kuliah udah kelar, sekarang beneran jalanin kehidupan yang sesungguhnya." celetuk Jevan tiba-tiba.

"Sok dewasa banget, monyet! Demam dikit aja masih nangis-nangis manggilin emak lu ketimbang ditinggal ke minimarket doang!" sembur Raka. Nana hanya tertawa kecil.

"Ya karena kepala gue pusing banget, anjing! Gue sempoyongan, nggak kuat bangun, badan panas, lidah pahit, please ngertiin!" balas Jevan dengan nada yang ia buat se-menjijikan mungkin.

"Lu mending diem sebelum ini kopi panas, mampir ke muka standar lo itu!" ketus Nana.

"Lo emang tai kata gue, Na! Muka gue ganteng! Si Dipta aja pernah ngakuin kalo gue ganteng!"

"Ya dia kan emang nggak waras bocahnya!"

"Bajingan lu!" Jevan pun melempar boneka pinguin yang sedari tadi ia peluk ke arah Nana.

Seperti hari yang sudah-sudah. Segalanya masih terasa sama saja. Kepergian Dipta sudah dua tahun lamanya. Namun, bekas luka yang ditinggalkannya masih jelas ada. Ketiga sahabat itu saling memandang dalam keterdiaman. Memandang setiap inci dari masing-masih wajah tampan itu dengan tatapan paling sendu. Tatapan tak ingin kehilangan.

"Udah lama ya dia pergi. Cukup dia aja yang pergi! Gue nggak mau lagi kehilangan siapa-siapa." tutur Jevan sambil tertunduk.

Nana terkekeh. "Bahkan, sampai akhir pun bocah nyeleneh itu ninggalin kenangan yang membekas. Meskipun udah selama itu, sejujurnya sampai detik ini pun gue belum ikhlas."

"Gue kangen di caci maki sama dia kalo gue ketauan nyebat." kata Jevan.

"Itu hal paling tolol yang sering lo lakuin, sih! Gue ciut kalo si Dipta lagi mode murka!"sahut Raka.

BLOOMING ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang