22. Kedua Kali

311 31 0
                                    

SELAMAT MEMBACA ❤️

(Direkomendasikan sambil dengerin lagu
Putri Ariani - Hanya Rindu)

---------------------

Jika perasaan cinta itu memang nyata ada habisnya, mungkin itu berlaku untuk perasaan Karisa. Semenjak Dipta tiada, Karisa merasa jika hatinya tak mampu lagi mencintai siapa-siapa.

"Hai, Sayang!" sapa seseorang ketika Karisa tengah menanam bunga baru di halaman belakang rumahnya.

"Hai! Sini, Vi!"

Bahkan, seseorang yang kini tengah Karisa perjuangkan selama hampir dua bulan untuk menggantikan sosok Dipta pun belum sepenuhnya bisa memenuhi seisi hatinya. Padahal, sudah hampir dua tahun lamanya Dipta tiada. Tapi, semuanya masih sama saja bagi Karisa.

Hampa.

"Kamu kok kesini nggak bilang aku dulu?" tanya Karisa.

Kavi, atau yang biasa dipanggil Nana pun hanya bisa tersenyum. "Aku kan udah bilang semalam, Sayang. Kamu lupa, ya?" kata Nana. Karisa hanya tersenyum canggung.

"Nih, aku bawain ini buat kamu, Sayang!" Nana menyodorkan plastik berisi batagor di tangannya.

"Batagor, ya? Makasih banyak, Kavi!" kata Karisa girang. Bahkan, disaat Nana sudah berusaha memanggil Karisa dengan panggilan sayang pun Karisa tetap tak bisa membalasnya. Entah memang ragu, atau perasaan Karisa yang sudah membatu.

"Sama-sama, Sayang."

Karisa lalu membuka bungkusan batagor yang memang Nana sengaja beli di tempat langganan Dipta dan Karisa dulu.

"Kamu tahu nggak, sih? Kalau aku makan batagor ini tuh kayak aku lagi makan sama Dipta." kata Karisa.

Sebutlah Karisa jahat. Karena, ketika Karisa mengatakan itu, hati Nana benar-benar sakit. Nana memang sudah menyadarinya sejak awal. Jika Nana memilih Karisa, maka setengah dari kisah cintanya akan terisi oleh Dipta. Namun, Nana tidak pernah menyangka akan sesakit ini.

"Karisa,"

"Hm?"

"Aku boleh minta satu hal sama kamu?" tanya Nana.

Karisa mengangguk. "Boleh, dong."

Nana menghela napas berat. "Sebegitu sulitnya ya kamu lupain Dipta?" tanya Nana.

Karisa yang tengah mengunyah batagor kesukaannya pun seketika langsung terdiam.

"Aku boleh jujur?" tanya Karisa. Nana hanya mengangguk.

"Aku nggak bisa ngehapus Dipta dari hati aku, Vi. Aku jahat banget disini. Tapi, aku benar-benar nggak bisa ngasih seluruh hati aku buat kamu. Aku minta maaf untuk itu." tutur Karisa. Karisa sangat sadar jika ini sangat menyakiti Nana. Namun, entah kenapa semuanya seolah mengalir dan lolos begitu saja dari bibirnya.

"Sa, apa itu artinya kamu mau aku mundur aja?" lirih Nana.

●○•♡•○●

"Si Nana kemana sih, Jev? Gue telfonin daritadi nggak dijawab mulu." kata Raka sambil mengetik sesuatu di laptopnya.

"Gue juga nggak tahu. Nggak ada bilang apa-apa itu bocah. Lagi kasmaran kali." celetuk Jevan.

Raka mendecak. "Si Nana nggak gitu nggak, sih? Maksud gue, dia kan nggak se ekspresif si Dipta. Lo yakin dia sama si Karisa beneran mau nikah?" Raka tiba-tiba ragu.

Jevan yang sedari tadi tengah menonton film di ponselnya pun beranjak, lalu melihat foto-foto yang terpajang rapi di dinding basecamp.

"Mungkin. Kita semua tahu kalau si Nana itu tertutup banget orangnya. Susah di tebak. Nyebelin juga kadang-kadang. Tapi, ada sisi lain yang bisa kita lihat dari dia. Dia orang yang tulus, Ka." tutur Jevan.

"Untuk masalah ini, jujur gue juga ragu sebenernya. Kita semua tahu kalo si Karisa itu ibaratnya udah cinta mati sama si Dipta. Terus, tiba-tiba si Nana yang notabennya memiliki ikatan dengan si Dipta, masuk ke kehidupannya. Apa nggak bakal jadi bayang-bayang terus itu si Nana?" kata Jevan.

Raka menunduk. "Itu juga yang ada di pikiran gue. Tapi, ya udahlah. Udah gede ini mereka. Udah pada bisa mikir."

Jevan seketika tertawa mendengar penuturan Raka yang terkesan ngasal, namun masuk akal itu.

●○•♡•○●

Waktu yang terus berlalu, tentunya selalu membawa hal-hal baru. Cakra yang semenjak Dipta pergi menjadi lebih pendiam, kini perlahan sudah kembali memancarkan senyuman. Meski segalanya tak lagi terasa sama, Cakra menyadari jika segalanya tak akan pernah bisa kembali lagi seperti semula.

"Mas, aku berangkat, ya!" kata Cakra sambil mencium punggung tangan Mas Dhana.

"Mau jalan sama Clara? Pake mobil punya Mas aja. Bensinnya penuh, tuh!" kata Mas Dhana.

"Aku udah izin sama Papa mau bawa mobilnya, Mas."

Mas Dhana melirik ke luar jendela. "Mobil Papa mau Mas cuci, Dek. Liat kotor begitu! Papa tuh beneran kayak Abang, deh. Bensin doang di penuhin, tapi kalo kotor males banget buat nyuci. Mana warnanya putih lagi. Nih, kuncinya!" tutur Mas Dhana seraya merogoh saku celana kolor kebanggaannya.

Cakra menerima kunci mobil dari Mas Dhana, lantas bertanya. "Mas mau nitip apa? Aku kayaknya nanti bakal ke tempat streetfood gitu. Clara nih suka banget ke tempat-tempat kayak gitu."

Mas Dhana sedikit berpikir. "Apa, ya? Nanti kamu kabarin Mas aja kalo emang lagi disana. Kali aja Mbak Monik udah kesini." tutur Mas Dhana.

"Ya udah, deh. Aku berangkat dulu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam." sahut Mas Dhana.

●○•♡•○●

Raka masih sibuk dengan laptopnya. Sedangkan, Jevan tengah membereskan isi lemarinya. Sangat langka sebenarnya melihat Jevan bisa serajin itu. Namun, terakhir kali Jevan membereskan lemari itu ketika Karisa memberikan jaket milik Dipta, yang ia simpan disini. Dan itu sudah lama sekali.

"Jev, malem ini gue nginep disini lah." kata Raka sambil menutup kasar laptopnya.

Jevan terkekeh. "Lo sejak kapan izin sih, nyet? Biasa juga langsung tidur-tidur aja!"

Namun, Raka tidak merespon. Raka hanya diam memandang langit-langit basecamp.

"Dip, lo lagi ngapain sekarang?" gumam Raka.

"Panjang umur nih anak. Ada nih nelpon gue!" kata Jevan membuyarkan lamunan Raka, ketika ponselnya berdering, dan menampilkan nama Nana disana.

"Lo kemana aja, monyet? Gue sama si Raka nungguin dari tadi. Ngebucin mulu dah lu." kata Jevan langsung ketika mengangkat telpon dari Nana.

"Selamat malam. Betul dengan Mas Jevan?" tanya seseorang di balik telepon.

"Iya, betul. Maaf, ini dengan siapa, ya?" tanya Jevan bingung, yang membuat Raka langsung bangun, dan memerhatikan Jevan.

"Maaf, Mas. Pemilik ponsel ini yang bernama Mas Kavi Nabastala, mengalami kecelakaan. Saya menghubungi Mas, karena nama Mas berada di kontak darurat milik Mas Kavi." terang seseorang di balik telepon.

"Nggak mungkin." gumam Jevan.

Raka yang panik pun mendekati Jevan. "Lo kenapa, Jev? Ada apa sama si Nana?" tanya Raka sambil menggoyang-goyangkan badan Jevan. Sambungan telponnya dengan ponsel milik Nana sudah terputus.

Tatapan mata Jevan kosong. Air matanya luruh begitu saja.

"Lo kenapa?! Si Nana kenapa, brengsek?!" Raka menarik kerah baju Jevan.

"Nana. Dia ... kecelakaan, Ka. Dia nggak boleh mati, Ka! Dia nggak boleh mati!" gumam Jevan pelan.

Raka langsung melemas. Cengkraman tangannya pada kerah baju Jevan pun melonggar. Dadanya tiba-tiba sesak. Air matanya juga sudah luruh.

"Na, nggak gini caranya kalo lo kangen sama si Dipta. Gue nggak mau kehilangan siapa-siapa lagi! Nana brengsek!" Raka tersungkur, lalu menangis di sudut ruangan.

Mereka bahkan sudah tidak lagi memiliki tenaga untuk langsung bergegas. Mereka, harus kembali berduka.

-

-

-

bersambung ...

BLOOMING ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang