25. Remember

218 28 7
                                    

SELAMAT MEMBACA ❤️

---------------------

•• sebuah keadaan, dimana segalanya penuh perbedaan. aku dengan kesembuhan, namun kau dengan kepergian ••

"Mas? Gimana sekarang?" tanya Ayah ketika masuk ke ruangan Nana. Karena kondisi Nana yang semakin membaik, Nana sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat.

"Udah agak enakan, Yah. Cuma, ya gini. Badan Mas rasanya masih sakit," jawab Nana.

"Yaaa ... namanya juga badan Mas ada lukanya. Mas mau makan apa? Nanti Ayah beliin dari kantin bawah," kata Ayah seraya meletakkan jaketnya di kursi.

Nana menggeleng, "Mas udah makan, Yah. Yah, diluar ada siapa?" tanya Nana.

"Nggak ada siapa-siapa, Mas. Cuma Ayah aja disini. Semalam, Mama sama Gema kesini. Tapi, Ayah suruh pulang. Kasian, pada capek. Toh sisa cuti Ayah masih ada dua hari lagi."

"Jevan, Raka, sama Dipta nggak kesini, Yah?" tanya Nana.

Ayah sedikit terkejut mendengar pertanyaan Nana. "Jevan sama Raka semalam kesini, Mas. Tapi, Masnya udah tidur. Kalau Diptaㅡ"

Nana seketika langsung tersadar, "Iya, Yah. Maaf. Mas lupa."

"Ayah,"

"Iya, Mas?"

"Karisa ada kesini?"

Ayah menggeleng, "Nggak, Mas. Udah dua hari nggak kesini. Mama bilang, Karisa sakit."

Nana hanya mengangguk. Sebenarnya, banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di benak Nana. Namun, perasaan Nana seketika terasa menguap begitu saja. Nana ingin tahu tentang Karisa lebih banyak. Tapi, perasaan untuk ingin memilikinya, tak lagi ada.

●○•♡•○●

"Mau kemana, Dek?" tanya Mas Dhana yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Jengukin Bang Nana. Mas mau ikut, nggak?" tanya Cakra sambil memakai jaketnya.

"Oh, Nana udah bangun? Mas ikut, dong! Bentar, Mas siap-siap dulu!"

"Aku tunggu di bawah, Mas! Manasin motor dulu!"

"Loh? Ngapain bawa motor? Mobil, lah! Itu barang bawaan kamu banyak! Panasin mobil Mas aja tolong! Nanti biar Mas yang nyetir!" seru Mas Dhana dari dalam kamar.

"Mas, aku yang nyetir, ya?"

"NGGAK YA, BUMI SADA!" teriak Mas Dhana lagi.

"Ck. Posesif banget punya kakak sebiji doang,"

"Gue denger ya, Cil!" kata Mas Dhana yang tiba-tiba keluar dari kamar.

"Iya, Mas. Iyaa! Aku nurut! Nih, aku turun, nih!" kata Cakra seraya menuruni anak tangga. Mas Dhana hanya bisa menghela napas pasrah.

●○•♡•○●

"Mas, nih ada Abang sama Adiknya Dipta," kata Ayah sambil masuk ke dalam ruangan Nana, di ikuti oleh Mas Dhana dan Cakra di belakangnya.

"Mas Dhana? Cakra? Sini masuk!" kata Nana sambil melambaikan tangannya.

"Mas Dhana, Dek Cakra, Bapak tinggal dulu, ya? Bapak mau ke bawah, ngurusin obatnya Mas Kavi. Mas, Ayah kebawah, ya!" kata Ayah, lalu melengang keluar.

"Udah, tiduran aja, Na! Nggak pa-pa!" kata Mas Dhana ketika melihat Nana berusaha untuk duduk.

"Nih, ada buah sama bolu susu buatan Mama. Dimakan, ya! Biar cepet pulih!" kata Mas Dhana seraya menyimpan bawaannya diatas nakas samping ranjang Nana.

"Makasih ya, Mas. Nana ngerepotin jadinya," kata Nana.

"Bang Nana lagi ngapain sih, Bang? Kok bisa kayak gini?" tanya Cakra to the point. Cakra memang sangat tidak bisa berbasa-basi.

Nana pun terkekeh, "Gue juga nggak tahu. Yang gue inget cuma mobil gue di tabrak dari belakang. Gitu doang." jawab Nana.

"Tapi, kamu nggak pa-pa kan, Na? Maksud Mas, nggak ada luka serius?" tanya Mas Dhana cemas.

Nana menggeleng, "Alhamdulillah nggak ada kok, Mas. Cuma, ya ini. Luka yang ada di badan Nana aja. Yang sempat di khawatirin kemarin sih luka kepala dalam. Tapi, alhamdulillah nggak ada, Mas." tutur Nana. Mas Dhana menghela napas lega.

"Alhamdulillah, Na. Mas khawatir banget pas di hubungin sama Jevan. Pas banget posisinya Mas lagi di Bandung. Maaf ya, Na. Mas baru jenguk kamu sekarang," tutur Mas Dhana.

"Nggak pa-pa, Mas. Malah Nana yang terimakasih karena Mas mau nyempetin kesini." kata Nana.

"Nanaaaaa~ kita berdua datang laㅡ eh? Ada Mas Dhana." Jevan yang tadinya datang dengan gaya yang aduhai, tiba-tiba langsung menciut ketika melihat ada Mas Dhana dan Cakra bersama Nana.

Raka setengah mati menahan agar suara tawanya tidak menggelegar. Raka hanya bisa tertawa tanpa suara.

Percayalah, itu sangat tidak bisa dinikmati

"Nah, kan." kata Nana sambil tertawa kecil.

"Bang? Bang Jevan sehat?" tanya Cakra.

Jevan memasang wajah yang sok cool untuk menutupi rasa malunya. "Sehat, Cil. Lagi happy aja gue tadi," kata Jevan.

"Mas? Sehat, Mas?" Jevan mencium tangan Mas Dhana, lalu di ikuti oleh Raka.

"Sehat. Kalian gimana? Ini kalian tiap hari kah kesini?" tanya Mas Dhana.

"Iya, Mas. Ini pasiennya nggak bisa ditinggal. Mau deketan sama kita terus," kata Raka ngasal.

"Sembarangan!" sembur Nana.

"Kamu kapan bisa pulang, Na?" tanya Mas Dhana.

"Besok, Mas. Itu Ayah tadi turun juga mau ngurusin administrasi," kata Nana.

"Kalau urusannya, ini gimana, Bang?" tanya Cakra.

"Untuk ini, udah di urus sama Ayah gue. Lo tenang aja!" kata Nana. Semuanya menghela napas lega.

"Lu kalo mau kemana-mana tuh bilang, Na! Lu kemaren maen pergi-pergi aja. Sekalinya nelpon si Jevan, bawa kabar buruk. Kacau lu!" semprot Raka.

"Iyeeee, sorry! Posesif banget dah, lu!"

Baik Jevan, Mas Dhana, dan Cakra hanya bisa tertawa mendengar itu.

Seketika, Nana terdiam. Nana teringat keadaan seperti ini. Jika saat ini ruangan tempatnya di rawat penuh dengan candaan, berbeda dengan dulu. Ketika semuanya berkumpul seperti ini, yang terdengar hanyalah lantunan doa dan tangisan kepedihan, untuk mengantarkan Dipta menuju keabadian.

"Dip, ternyata lo emang udah menjadi sebagian dari hidup gue," batin Nana seraya melihat ke arah pintu.

Entah halusinasi atau bukan, Nana melihat ada Dipta berdiri di ambang pintu. Melihat ke arah mereka, dengan senyuman indahnya.
-
-
-
bersambung...

see you next part, guys!

Love, Grace ❤️

BLOOMING ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang