BAB 13 : RASA APA INI?

52 9 14
                                    


ARABELLA memandang lekat pantulan dirinya di cermin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ARABELLA memandang lekat pantulan dirinya di cermin. Sisir yang dipegangnya terhenti di udara tatkala ingatannya kembali menjelajah pada kejadian semalam. Bukan. Bukan tentang ayahnya yang muncul secara tiba-tiba, melainkan Alaric. Sikap sigap dan ocehan pria itu semalam benar-benar masih terngiang-ngiang di pikirannya.

Bahkan ... lamaran spontan itu.

Oke. Mungkin memang sebenarnya hal itu belum bisa disebut 'lamaran' hanya karena ia berkata untuk menikah dengannya. Lagi pula, konteks pengakuan semalam hanyalah sebatas 'mengusulkan' karena diawali dengan kalimat 'bagaimana jika'. Jelas itu bukan untuk benar-benar mengajaknya menikah. Tapi ..., entah kenapa, saat Alaric mengutarakannya, Arabella merasa sangat tidak karuan. Degup jantung, napas, aliran darah, bahkan ruang dan waktu di sekitarnya seolah mendadak berhenti sesaat.

Selama ini, ia sudah sangat keukeuh dengan prinsipnya untuk tidak pernah menjalin hubungan dengan pria mana pun. Namun, kenapa hatinya merasa goyah dengan sekelumit kata dari Alaric?

Tidak. Arabella mungkin merasa sensitif karena situasi semalam sangatlah hectic dan tidak terduga. Lagi pula, siapa yang akan menyangka ayahnya akan tiba-tiba muncul dan menghajarnya seperti itu? Siapa juga yang akan mengira Alaric tiba di saat yang tepat begitu? Ini bahkan bukan cerita-cerita dalam drama roman yang sering ditontonnya setiap malam.

Benar. Mungkin memang demikian. Ia hanya terbawa suasana. Tidak lebih. Barangkali, ia merasa begitu karena baru pertama kali mendengar ajakan menikah dari seorang pria. Ralat. Usulan. Benar. Hanya usulan.

'Kalau kamu mau membuka mata kamu sedikit, di luaran sana, kamu masih bisa mendapati laki-laki yang baik. Yang mau menerima kamu apa adanya. Yang sayang sama kamu lebih dari apa pun yang dia punya. Yang nggak suka main tangan. Yang peduli. Yang memprioritaskan kamu di atas segalanya.'

Lagi. Kalimat itu kembali memenuhi kepalanya.

Seolah terhipnotis, Arabella tiba-tiba bergumam, "Mungkin ... pria seperti ... Pak Alaric?"

Sejurus kemudian, ia terperanjat hingga melempar sisir yang dari tadi masih dipegangnya, kaget dengan gumamannya sendiri. Wanita yang sudah bersiap untuk berangkat bekerja dengan mengenakan blus kuning pastel berpita pada bagian leher dan celana kain hitam itu langsung menatap lurus kembali bayangan di cermin seukuran tinggi tubuhnya itu.

"Nggak," kata Arabella pada pantulannya. "Dia cuma suka karena pengaruh Amorvency. Nggak lebih dari itu. Sadarlah, Arabella. Semuanya palsu."

Wanita itu menepuk-nepuk pipinya pelan.

Tiba-tiba dering notifikasi ponsel yang tergeletak di atas kasur berbunyi, membuat Arabella lagi-lagi terlonjak, kaget karena terlalu fokus dengan pikirannya sendiri. Ia segera meraih benda pipih itu dan mendapati sebuah pesan pada bilah status layar ponselnya.

AMORVENCY (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang