2. Perbedaan Kasih Sayang.

162 73 59
                                    

Sekitar pukul setengah tujuh pagi, Ikha sudah kembali dari pasar dengan membawa sedikit belanjaan berupa sayur mentah dan beberapa lauk pauk berupa tahu dan telur. Dalam hati, Ikha berkali-kali mengucap kalimat tahmid dan sangat berterima kasih pada Irma. Sisa uang pemberian semalam membuat Ikha mampu berbelanja di pagi hari, setidaknya hari ini Ibunya bisa mengirit uang belanja.

Ketika Ikha sampai di dapur, wanita dengan hijab coklat langsung meminta Ikha istirahat. "Kamu duduk saja, diminum dulu tehnya. Keburu dingin, loh. Biar Ibu saja yang masak.

"Iya, Bu." Ikha menikmati teh sereh buatan Alifah sembari menggulir layar gawainya, matanya terfokus membaca deretan lowongan kerja khusus laki-laki. Matanya mulai berbinar saat menemukan satu lowongan yang dirasa cocok untuk adiknya.

"Ibu, Hasyim di mana, ya?" tanya Ikha.

"Masih tidur itu di kamar. Sudah ibu bangunkan malah marah-marah," keluh Alifah.

Ikha menghela nafas kasar, diliriknya jam dinding dan kondisi luar yang jelas-jelas sudah terang benderang, kemarahannya terpancing setelah mendengar pengakuan Alifah. Ahmad Hasyim Zulfikar, pemuda yang dua tahun lebih muda dari Ikha ini memang kerap kali bersikap kurang ajar. Orangnya kasar, tutur katanya tidak baik, pola berpikirnya pendek dan boros. Kata Bapak itu hal yang wajar, tapi bagi Ikha hal semacam itu sama sekali tidak bisa ditoleransi.

Sampai di depan pintu kamar yang masih terbuka dan hanya tertutup tirai tipis, Ikha masuk dan menarik selimut adiknya. "Hasyim! Kamu sudah sholat subuh belum, sih?! Sudah hampir jam tujuh kok kamu masih tidur begini?!"

"Apa, sih, Mbak?! Masih dingin ini! Nanti aja sholatnya!" tolak Hasyim.

"Ya Allah! Bangun, Hasyim! Sholat kok ditunda-tunda! Ayo bangun! Sekalian ada hal yang harus kita bicarakan!" perintah Ikha. Geram sekali melihat tingkah adiknya, sejak kecil selalu saja sulit dibangunkan.

Hasyim tak kalah galak. Ia membentak Ikha. "Berisik!! Ganggu orang tidur aja!"

Bukannya bangun, Hasyim justru menarik satu sarung yang terlipat di kaki tempat tidurnya dan membelakangi Ikha yang sangat kesal melihat sikap Hasyim. Ikha beranjak dari kamar Hasyim dan kembali lagi sembari membawa gayung yang berisi air.

"Bangun atau aku siram pakai air?" ancam Ikha.

Tidak ada jawaban dari Hasyim, dan tak lama kemudian kepala Hasyim berakhir basah kuyup sebab air yang Ikha guyurkan. Pertengkaran antara Ikha dan Hasyim semakin membesar kala pemuda itu melemparkan bantal tepat ke wajah Ikha. "Gak usah sok suci!! Ngapain kamu ngatur-ngatur kapan aku sholat?! Udah merasa paling bener, kamu?!"

Ikha berkacak pinggang dan menuding jam di kamar Hasyim. "Aku memang benar. Ini sudah lewat dari waktu subuh dan kamu malah masih asik tidur, harusnya, sih bukan guyuran air yang kamu terima, tapi pukulan!"

"Kamu cari mati, hah?! Kalau berani, sini pukul! Perempuan banyak bacot!" tantang Hasyim.

Kemarahan Ikha juga semakin tersulut mendengar jawaban dari Hasyim. "Perempuan bacot? Bacot gini gak banyak beban kayak kamu! Sudahlah banyak hutang, kerja gak mau, kuliah gak becus, hobi morotin duit orang tua, sholat ditunda-tunda. Emang boleh sebeban ini?!"

"Zulaikha!"

Baik Ikha maupun Hasyim, keduanya menoleh ke arah pintu kamar Hasyim. Di sana berdiri pria berusia enam puluh tahun, uban sudah hampir mendominasi warna rambut pria ini, tangan kirinya berkacak pinggang sementara tangan kanannya menunjuk pada Ikha dengan raut wajah penuh murka.

"Hutang Hasyim sudah lunas! Bapak sendiri yang lunasi, jadi jangan sekalipun kamu berani berkata seperti itu pada Hasyim!"

Mulut Ikha tertutup kembali saat Harjono,—ayahnya, kembali berucap, "jangan hanya karena kamu merasa membantu ekonomi keluarga kita, kamu jadi besar kepala dan menganggap adikmu beban! Bapak sama sekali tidak pernah berpikir seperti itu, jadi kamu juga sebaiknya jangan memicu pertengkaran!"

Mawar Putih Untuk Zulaikha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang