Merasa putranya tak segera membuka pintu Alifah mulai mendorong pintu hingga tampaklah Endra yang sedang meringkuk memeluk diri di atas kasur. Irma bergegas mendekati Endra, dan luruh pula air mata Irma ketika melihat kedua mata Endra mulai bengkak akibat tangisan yang tidak berhenti sejak tadi. Entah apa yang Endra alami ketika di luar rumah, Irma tidak tahu. Namun, rasa sakit yang pemuda ini rasakan menular kepadanya.
"B-bunda—"
Irma tidak bertanya. Ia datang hanya untuk memeluk putranya. Merasakan rengkuhan penuh kehangatan dan cinta seorang Ibu adalah obat dari segala rasa sakit dan kecewa yang Endra alami di hari bahagianya. Tapi selayaknya obat pada umumnya, rasa perih atau pahit itu tetap menyapa hingga menyebabkan isak tangis Endra makin kencang terdengar. Dalam dekap erat Irma, Endra ingin menumpahkan seluruh kesedihannya.
Disela tangisnya, Endra mengeluh. "Anak Bunda ini pengecut banget, ya? Lambat banget!"
"Ya Allah, Bunda. Ini rasanya sakit banget! Demi Allah! Endra gak tahu kalau rasanya akan sesakit ini ... Endra gak mau begini, Bunda."
"Ya Rabb ... padahal baru aja ketemu, baru aja saling kenal, baru aja—baru aja Endra ingin memperjuangkannya. Tapi sekarang semua sudah kacau, Bunda. Secepat ini Allah membalik keadaan, Endra gak siap!"
"Kenapa, sih, harus secepat ini?! Endra aja belum bilang ke Mbak Ikha kalau Endra sayang! Endra belum sempat menyatakan semuanya dan mengakui dengan berani di depan Mbak Ikha, Ya Allah!! Bunda, Endra harus gimana??"
Irma tidak menjawab. Biarlah Endra menuntaskan kekecewaan, kesedihan, dan kemarahannya. Wanita yang sudah menggunakan mukena ini terus diam sambil sesekali menepuk punggung Endra pelan. Irma memahami hati putranya yang sedang dipatahkan oleh keadaan, entah keadaan seperti apa yang membuatnya patah, cinta pertama Endra seolah direnggut paksa sebelum ia sempat mengusahakannya.
Beberapa menit berlalu dan saat Irma merasa putranya sudah semakin lebih tenang, ia mulai mencoba bertanya. "Kamu berkunjung ke rumah Nak Ikha?"
Endra melerai pelukan. Tangisnya mulai mereda, meski rasa sakitnya masih begitu membekas. "I-iya, Bun."
"Sudah bertemu orang tuanya?"
Endra menggeleng. Ia hanya menunduk sementara memorinya terus mengulang pertengkaran kedua orang tua Ikha yang ia dengar pagi ini.
"Berkenan cerita?" tanya Irma dan setelahnya diikuti dengan penuturan Endra tentang segala yang ia lakukan seharian ini. Hal apa yang membuatnya merasa patah. Bahkan sampai ke hal-hal yang dulu ia anggap kecil dan tidak berdosa, juga turut ia ceritakan. Hari ini, Endra ingin mengaku kepada Irma dan ia sangat menyesali perbuatannya.
Semua larangan dari Allah yang telah disampaikan berulang kali oleh Irma telah ia langgar. Disela pengakuannya, Endra teringat dengan Irma yang tak cukup sekali dua kali menasihati dan memarahinya akibat sifat keras kepalanya. Perginya Ikha secara mendadak bahkan diketahui orang tuanya membuat Endra tersadar, bahwa nasihat Irma selama ini benar.
"Endra, semua hubungan yang dimulai dengan melakukan sesuatu yang dimurkai oleh Allah, maka hasilnya akan sangat menyakitkan. Jika pun tidak, maka sudah pasti tidak ada keberkahan dalam hubungan tersebut."
.
.
"Endra, Bunda tidak melarang kamu menyukai seseorang. Tapi dengan melukisnya terus menerus lalu menyimpannya di dalam kamar, itu tetap tidak baik!"
.
.
"Bunda senang kalau dengan hadirnya wanita itu kemudian membangkitkan semangatmu melukis, tapi Bunda tidak ridho kalau bakat yang kamu miliki ini justru perlahan membawamu ke jalan yang salah! Biar bagaimanapun wanita itu bukan mahrom bagimu, untuk apa menyimpan lukisan dengan wajah wanita itu sebanyak ini jika bukan hanya untuk memicumu kepada hal yang buruk?!"
.
.
"Lihat jam berapa sekarang??!! Kendalikan dirimu!! Cobalah untuk melukis hal-hal lain! Mulai besok, kalau sampai Bunda lihat lagi kamu hanya melukis wanita itu, Bunda bakar semua alat lukismu!"
.
.
"Orang melakukan zina itu tidak serta merta langsung melakukan seks. Semua diawali dari hal-hal yang terlihat sepele dan boleh-boleh saja dilakukan atas dasar kesenangan yang tidak merugikan orang lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mawar Putih Untuk Zulaikha
Tâm linh[SUDAH TERBIT, BAB MASIH LENGKAP] Anak perempuan yang sedang tertatih dalam upayanya untuk terus berusaha, bersabar dan beserah pada Sang Pencipta yang menulis alur kehidupannya. Di sisinya, ada pemuda yang mencintainya dengan hebat lalu diminta San...