"Pergilah, Ikha! Pergi dan selamatkan masa depanmu!"
"Ma-maksud Ibu apa? Pergi? Kemana? Ikha harus apa?" Ikha terperanjat bukan main mendengar perintah Alifah.
Alifah menilik keluar kamar dan setelah yakin Hasyim dan Harjono meninggalkan rumah, ia segera mengunci pintu rumah dan bergegas kembali lahir ke kamar Ikha. Tangan rapuhnya menggenggam bahu Ikha kuat-kuat. Ia tegakkan posisi duduk Ikha dan menatap lekat kepada dua netra kecoklatan Ikha. Setelah berjam-jam wanita ini dikunci dalam kamarnya, Alifah mulai mengambil keputusan dan ia percaya bahwa putrinya bisa melakukannya.
"Anakku, dengarkan Ibu."
"Segera kemasi barangmu, bawalah yang menurutmu penting untuk dibawa. Di dalam dompet ini, ada sekitar sepuluh juta. Carilah tempat tinggal, dapatkan pekerjaan yang menurutmu baik. Hiduplah dengan baik, jaga pola makan, istirahat yang cukup, jangan tinggalkan sholat, tetaplah tutup aurat sesuai perintah Allah, jaga pergaulanmu, dan juga hafalanmu. Jangan kembali ke rumah ini!"
Ikha hendak menjawab namun dengan segera Alifah menutup mulut Ikha."Jangan membantah! Kehidupanmu tidak akan baik-baik saja kalau tetap berdiam di rumah ini! Cepat atau lambat, Bapakmu akan tetap menikahkanmu dengan Umar! Seperti yang sudah sering terjadi, pria itu tidak akan mendengarkan pendapatmu!"
Alifah berdiri dan segera memasukkan beberapa pasang pakaian ke dalam tas ransel milik Ikha. Tak lupa ia sertakan dengan dokumen data diri Ikha, ijazah kelulusan, obat-obatan, juga beberapa keperluan mandi.
"Ibu! Lalu ibu bagaimana?! Ikha tidak mungkin hidup tanpa Ibu! Lalu bukankah uang ini rencananya akan kita gunakan sebagai biaya perceraian Ibu?!"
Alifah sempat terdiam beberapa saat. Ia menghela nafas panjang dan menatap Ikha lekat. "Ibu akan tetap di sini. Kamu pergi sebelum semua terlambat!" ucapnya tegas.
"Ikha tidak...."
"IKHA!!" bentakan Alifah membuat lutut Ikha terasa begitu lemas seolah tak lagi menopang beban tubuhnya. Perasaan wanita malang ini semakin kacau.
Merasa bersalah, Alifah pun buru-buru merengkuh putrinya. Air matanya sudah hampir tak terbendung. Namun, di situasi seperti ini menangis hanya akan membuang waktu, keputusan harus segera diambil. Alifah menekankan bahwa perintah ini tak boleh dibantah. Putrinya punya hak menentukan masa depannya sendiri.
"Dengarkan Ibu, Nak."
"Ibu tahu betul bagaimana rasanya menikah dengan perasaan terpaksa. Segala sesuatu yang diawali dengan rasa terpaksa dan tertekan hanya akan menghasilkan suatu hubungan yang tidak harmonis. Kita ini hidup di dunia nyata, dan pada kenyataannya jarang sekali ada sebuah pernikahan yang bisa berlangsung baik ketika diawali dengan rasa terpaksa dan tanpa keridhoan dari masing-masing pihak."
"Berdiam diri di rumah ini sama saja kamu menyerahkan dirimu pada pernikahan yang tidak kamu inginkan. Jangan bunuh masa muda, harapan, dan cita-citamu dengan ikatan sakral yang tidak kamu inginkan. Selagi masih ada waktu, bergegaslah pergi dan gapailah apa-apa saja yang selama ini kamu sebut dalam doa panjangmu. Teruslah bangun istanamu sendiri, nikmati setiap prosesnya, dan menikahlah ketika sudah kamu temukan pria yang kamu percaya dan siap meratukanmu di istananya nanti."
"Lalu Ibu bagaimana? Kenapa tidak kita berdua saja yang pergi dari rumah ini?" tanya Ikha, masih tidak ingin pergi meninggalkan Alifah sendirian.
Alifah tampak semakin kesal. "Sudahlah, Ikha! Ibu perintahkan pergi, ya, pergi!! Jangan membantah! Atau kamu memang mau menikah dengan Umar?!"
"Bu-bukan begitu, Bu," lirih Ikha tergagap.
"Kalau begitu, cepatlah! Selagi kedua orang itu sedang tidak ada di rumah, pergilah sejauh mungkin. Tak perlu pikirkan Ibu! Ibu sudah lebih dewasa dibandingkan kamu, Ibumu bisa jaga diri sendiri. Sekarang pergilah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mawar Putih Untuk Zulaikha
Spiritual[SUDAH TERBIT, BAB MASIH LENGKAP] Anak perempuan yang sedang tertatih dalam upayanya untuk terus berusaha, bersabar dan beserah pada Sang Pencipta yang menulis alur kehidupannya. Di sisinya, ada pemuda yang mencintainya dengan hebat lalu diminta San...